Kontekstual
Sebuah slogan berbunyi “Polri Untuk Masyarakat” bukan hanya sekadar tulisan, melainkan menjadi cerminan dari tanggung jawab Kepolisian Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui, polisi memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan, ketertiban, sekaligus menegakkan keadilan. Namun, alih-alih menjalankan perannya sebagai institusi yang seharusnya melindungi, tak jarang terdapat oknum polisi yang melakukan tindakan di luar tugas perlindungan masyarakat, sehingga berbalik menjadi ancaman bagi masyarakat.
Kepolisian Republik Indonesia sejak awal diletakkan di garda terdepan untuk menjaga keamanan, ketertiban, serta memberikan perlindungan terhadap masyarakat Indonesia. Hal ini tercantum pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun, beberapa waktu belakangan muncul berita memilukan bagi masyarakat Indonesia. Seorang pengemudi ojek online dilindas menggunakan kendaraan taktis (rantis). Hal ini tentu kembali menjadi berita buruk. Peran kepolisian sebagai pelindung masyarakat bak jauh panggang dari api. Lewat peristiwa ini slogan “Polri untuk Masyarakat” kemudian dipertanyakan.
Latar Belakang
Kronologi bermula ketika pengemudi ojek online tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Barracuda Brimob Polda Metro Jaya ketika masa demonstrasi pada Kamis, 28 Agustus 2025. Aksi demonstrasi bertajuk “Gerakan Buruh Indonesia Bergerak: Wujudkan Kedaulatan Rakyat, Hapus Penindasan dan Penghisapan” yang digelar di depan gedung MPR/DPR, Jakarta Pusat berujung duka. Kejadian ini terekam dalam sebuah video amatir yang beredar di media sosial, yang kemudian menjadi bukti awal untuk penyelidikan yang memperlihatkan rantis bertuliskan Brimob melaju dengan cepat, kemudian melindas seorang laki-laki yang berusaha menghindar.
Korban kemudian diketahui bernama Affan Kurniawan. Menurut keterangan rekan korban yang bernama Hafidz, ia terjebak di dalam kerumunan aksi saat sedang melakukan pekerjaannya untuk mengantarkan makanan di area depan Rumah Susun Bendungan Hilir II, Jakarta Pusat. Kesaksian ini membuktikan bahwa Affan bukanlah bagian dari aksi demonstrasi, melainkan hanyalah seorang pekerja yang terjebak di keramaian. Ironisnya, kendaraan tersebut justru kabur usai menabrak korban sehingga memicu kemarahan massa.
Perhatian publik kemudian terfokus pada langkah apa yang akan diambil oleh aparat dalam menyelesaikan permasalahan ini. Pelaku yang tergabung dalam Satuan Brimob Polda Metro Jaya kini telah diamankan untuk pemeriksaan lebih lanjut dan telah menyampaikan permintaan maaf kepada pihak keluarga korban. Tujuh anggota Brimob itu kini telah diamankan polisi dan akan ditindak secara tegas. Selain itu, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan permintaan maafnya kepada pihak keluarga atas insiden tersebut. Kabar terbaru, sanksi yang diberikan kepada ketujuh pelaku adalah hukuman penempatan khusus (patsus) selama 20 hari. Sanksi ini dinilai belum cukup karena sanksi administratif jika disandingkan dengan akibat peristiwa dinilai belum memberikan rasa keadilan, sehingga sanksi pemidanaan juga perlu untuk diberikan terhadap pelaku.
Penjatuhan Sanksi Administratif dan Sanksi Pidana
Sorotan publik saat ini tertuju pada ketidakjelasan hukuman yang akan diberikan kepada tujuh pelaku. Mengingat terjadi benturan antara pengakuan pelaku serta bukti nyata berupa video yang beredar di media sosial. Pelaku mengatakan bahwa mereka tanpa sengaja menabrak korban, namun yang tampak di video, jelas memperlihatkan bahwa rantis sempat berhenti kemudian kembali melaju dan melindas korban. Sudut pandang inilah yang menjadi sorotan publik dan mendesak adanya penyidikan yang transparan dan adil.
Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) para pelaku jelas melakukan tindak pidana. Dilihat dari bukti rekaman video yang menunjukkan unsur kesengajaan, maka pelaku berpotensi dikenai Pasal 338 KUHP, “Barangsiapa yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”. Tetapi jika mengacu pada pengakuan pelaku bahwa mereka tanpa sengaja melindas korban, maka pelaku berpotensi dikenai Pasal 359 KUHP, “Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun”. Perbedaan ini sangat krusial dalam menentukan apakah keadilan benar-benar ditegakkan terhadap aparat ataukah ada upaya untuk meringankan hukuman bagi mereka.
Selain penjatuhan sanksi pidana, para pelaku berpotensi dikenai sanksi pelanggaran kode etik sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat (2) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpolri) Nomor 7 Tahun 2022 bahwa penjatuhan sanksi KEPP (Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia) tidak menghapuskan tuntutan pidana dan/atau perdata. Sehingga penjatuhan hukuman pidana akan diproses perkara dalam sidang peradilan umum dan penjatuhan sanksi administratif akan melalui sidang KEPP.
Sidang peradilan umum dan sidang kode etik dapat diproses secara bersamaan. Namun, apabila pelanggar KEPP dijatuhi sanksi administratif kategori berat, terlebih dahulu harus dibuktikan adanya tindak pidana melalui peradilan umum hingga memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai dengan Pasal 17 huruf e Perpolri Nomor 7 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa pelanggaran KEPP termasuk kategori berat jika memenuhi kriteria tindak pidana dan telah diputus dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun sanksi terberat atas pelanggaran tersebut adalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Agar penyelesaian kasus ini dapat dikawal dengan lebih baik, salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah pembentukan tim independen yang dapat menjadi pengawas proses penyidikan. Tim independen ini dapat melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, serta lembaga hak asasi manusia. Model ini sebelumnya pernah diterapkan dalam pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk peristiwa pelanggaran HAM pada tahun 1998. Dengan pembentukan tim independen, diharapkan agar proses hukum dapat berjalan terbuka, akuntabel, dan terhindar dari praktik impunitas yang selama ini melekat pada kasus yang melibatkan aparat.
Ketika Polisi Bukan Lagi Pelindung Rakyat
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) tepatnya Pasal 28G ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda. Polisi diletakkan di garda terdepan sebagai pelindung masyarakat dari berbagai ancaman. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya, dimana aparat negara yang seharusnya menjadi pelindung justru melukai warga sipil, maka negara telah gagal dalam melakukan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).
Peristiwa ini telah menyentuh dimensi kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Ketika pelaku berasal dari aparat, seringkali berakhir pada permintaan maaf tanpa konsekuensi hukum yang jelas. Peristiwa ini bukan yang pertama kali terjadi, melainkan bagian dari rangkaian kasus serupa yang berulang. Jika pola ini terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap hukum dan aparat akan terus terkikis, serta rasa aman yang seharusnya dijamin negara berubah menjadi rasa takut.
Masyarakat semakin geram terhadap pihak kepolisian imbas dari peristiwa ini. Dampaknya, demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah menjadi semakin memanas. Gelombang unjuk rasa terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Di antaranya daerah Cirebon, Mataram, dan Makassar. Sebagian besar dari aksi unjuk rasa ini berujung ricuh, mengakibatkan kerusakan pada fasilitas publik bahkan menimbulkan korban jiwa. Apabila kericuhan ini terus terjadi, maka dampak yang ditimbulkan akan semakin meluas. Fasilitas umum yang rusak akan semakin banyak, begitu pula dengan korban jiwa yang bermunculan akan terus bertambah.
Kasus ini perlu terus dikawal karena bagi sebagian orang hal ini tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, bagi keluarga Affan, dunia mereka telah hancur. Permintaan maaf dan sanksi administratif tidak sebanding dengan hilangnya nyawa, karena hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Permintaan maaf hanyalah langkah awal, sanksi administratif hanyalah bentuk pertanggungjawaban internal yang terbatas, sedangkan masyarakat lebih membutuhkan langkah nyata yang dapat diberikan. Dapat dimulai dengan penegakan hukum yang transparan dalam penyelesaian kasus ini, serta reformasi internal Polri agar kasus serupa tidak terulang.
Referensi
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022.
Agustini, Ni Komang Ayu Sri, et al. “Sanksi Hukum Terhadap Anggota Polisi Yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan.” Jurnal Preferensi Hukum, vol. 2, no. 3, 31 Oct. 2021, pp. 633–638, https://doi.org/10.22225/jph.2.3.4033.633-638. Accessed 7 June 2022.
Akhdi Martin Pratama. “Apa Saja Tuntutan Buruh Di Demo 28 Agustus 2025?” KOMPAS.com, Kompas.com, 28 Aug. 2025, megapolitan. kompas.com/read/2025/08/28/07334361/apa-saja-tuntutan-buruh-di-demo-28-agustus-2025. Accessed 31 Aug. 2025.
Christian, Andi . “Analisis Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri Sebagai Lembaga Penegak Hukum Di Indonesia.” Jurnal Lex Administratum, vol. 11, no. 2, 16 Jan. 2023, pp. 1–13.
Huda, Larissa. “Imbas Ojol Terlindas Rantis Brimob, BEM UI Dan BEM SI Kerakyatan Bakal Demo Hari Ini.” KOMPAS.com, Kompas.com, 28 Aug. 2025, megapolitan. kompas.com/read/2025/08/29/05322711/imbas-ojol-terlindas-rantis-brimob-bem-ui-dan-bem-si-kerakyatan-bakal. Accessed 31 Aug. 2025.
iBerita. “Gelombang Aksi Solidaritas Untuk Affan Kurniawan Meluas Di Sejumlah Daerah.” INews.ID, iNews.id, 30 Agustus 2025, https://www.inews.id/inews-tv/buletin/gelombang-aksi-solidaritas-untuk-affan-kurniawan-meluas-di-sejumlah-daerah. Diakses 1 September 2025.
Kementerian Sekretariat Negara. “Presiden: Polri Wajib Melindungi Dan Melayani Masyarakat | Sekretariat Negara.” Setneg.go.id, 2024, www.setneg.go.id/baca/index/presiden_polri_wajib_melindungi_dan_melayani_masyarakat.
M. Raihan Muzzaki, and Linda Trianita. “Tujuh Polisi Yang Melindas Pengemudi Ojol Terbukti Melanggar Kode Etik.” Tempo, PT Tempo Inti Media, 29 Aug. 2025, www.tempo.co/hukum/tujuh-polisi-yang-melindas-pengemudi-ojol-terbukti-melanggar-kode-etik-2064471. Accessed 31 Aug. 2025.
Yogi Ernes. “10 Hal Diketahui Soal Pengusutan Rantis Brimob Lindas Ojol Hingga Tewas.” Detiknews, detikcom, 29 Aug. 2025, news.detik.com/berita/d-8084930/10-hal-diketahui-soal-pengusutan-rantis-brimob-lindas-ojol-hingga-tewas. Accessed 31 Aug. 2025.
Yudono Yanuar. “Kronologi Ojol Tewas Dilindas Rantis Hingga Demo Di Mako Brimob.” Tempo, PT Tempo Inti Media, 29 Aug. 2025, www.tempo.co/hukum/kronologi-ojol-tewas-dilindas-rantis-hingga-demo-di-mako-brimob-2064279. Accessed 31 Aug. 2025.
Penulis
Siti Nur Aini Zakaria – LP2KI XVIII
Nurul Hikmah Muslimin – LP2KI XVIII