Vonis Cacat, Presiden Turun Tangan

KONTEKSTUAL 

Proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh hakim sangat menentukan nasib dari terdakwa. Ini berarti satu ketukan palu hakim di meja hijau dapat mengubah seluruh jalan hidup seseorang, entah itu hakim memutuskan bebas dan tak bersalah atau memutuskan bersalah dan harus dipenjara. Setiap hakim harus menggunakan pertimbangan yang paling matang, didasarkan pada bukti yang kuat, dan sesuai dengan hati nurani serta hukum, karena putusan mereka memiliki dampak kemanusiaan yang sangat besar bagi terdakwa, keluarga mereka, dan masyarakat luas.  

Hakim seharusnya tidak membiarkan keputusan yang diambil terpengaruh oleh tekanan dari luar atau kepentingan politik yang dapat merusak netralitas. Untuk memberikan kepastian hukum kepada terdakwa dan memastikan prinsip keadilan terjaga, hakim harus menghindari segala bentuk prasangka dan asumsi serta harus membuat keputusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan dan keyakinan pribadi yang didukung oleh bukti yang benar apa adanya. Namun, situasi yang terjadi pada persidangan yang melibatkan Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono menunjukkan kondisi yang berbeda dari idealisme hakim. Putusan Majelis Hakim Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 November 2025 yang menghukum ketiganya telah memicu kontroversi publik dan menunjukkan kegagalan dalam menerapkan asas keadilan substantif. Terdapat kekhawatiran bahwa keputusan tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada fakta yang terungkap dan keyakinan hakim, melainkan lebih mengutamakan tafsiran pasal-pasal secara kaku. Hal ini menyebabkan konteks kerugian dan niat jahat (mens rea) terdakwa terabaikan.

Setelah ketukan palu diayunkan oleh Majelis Hakim, tidak lama dari situ muncul benih harapan dan kelegaan yang luar biasa, menembus hingga ke relung hati keluarga, mendengar kabar bahwa Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono diberikan rehabilitasi oleh Presiden Prabowo. Kabar baik ini terasa seperti angin sejuk yang bertiup kencang, menghapus awan gelap yang selama ini menyelimuti keluarga. Waktu demi waktu hidup dalam bayang-bayang vonis bersalah dan stigma buruk, semua penderitaan itu seakan terbayar lunas dengan satu keputusan dari Istana. 

LATAR BELAKANG 

Perkara yang berakar dari proses akuisisi bisnis PT. Jembatan Nusantara (PT JN) dan pembelian sejumlah kapal penyeberangan berujung pada perhitungan yang menurut pernyataan persidangan ini merugikan keuangan negara, yang kemudian menggiring jajaran direksi PT. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) ke meja hijau. Terobosan bisnis yang seharusnya memberikan manfaat bagi negara justru menimbulkan hipotesis yang seolah-olah diperlakukan sebagai kejahatan. Ira Puspadewi sebagai mantan Direktur Utama PT. ASDP bersama Muhammad Yusuf Hadi seorang mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT. ASDP, serta Harry Muhammad Adhi Caksono mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. ASDP dijerat kasus dugaan korupsi dalam proses Kerja Sama Usaha (KSU) dan akuisisi PT. JN tahun 2019-2022 yang disebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp1,25 Triliun dan dijatuhi masing-masing hukuman 4,5 tahun penjara dengan denda Rp250 juta subsider 2 bulan kurungan. Pemberian hukuman kepada para terdakwa tersebut justru menimbulkan pertanyaan besar karena keputusan bisnis yang diambil masih selaras dalam konteks profesionalitas di dunia usaha dan bisnis, diperlakukan seakan-akan sebuah tindakan kriminal tanpa mempertimbangkan situasi dari proses korporasi yang menjadi sumber utama peristiwa yang melatarbelakanginya.

Dalam persidangan, Ira Puspadewi menyampaikan sebuah nota pembelaan yang berisi bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap Ira Puspadewi membeli kapal tua dengan harga yang terlalu mahal, padahal yang dibeli bukanlah kapal tua melainkan saham perusahaan yang masih beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Menurutnya akuisisi tersebut justru menguntungkan negara karena pembelian 100% saham perusahaan feri terbesar nasional dengan harga hanya 60% dari nilai aset, serta PT. ASDP mendapatkan 53 kapal dari hasil akuisisi. Fakta ini menunjukkan bahwa keputusan bisnis yang diambil merupakan langkah strategis korporasi dan bukan tindakan yang merugikan negara sebagaimana dituduhkan. Hal ini sejalan dengan dissenting opinion dari Ketua Majelis Hakim Sunoto yang menilai bahwa keputusan bisnis tersebut telah berada dalam ranah Business Judgement Rule (BJR) dan diambil dengan iktikad baik (good faith) sehingga tidak seharusnya dikategorikan sebagai tindak pidana. 

Kasus ini memicu perdebatan publik, yang mana di satu sisi sebagian masyarakat menilai bahwa hukuman terhadap Ira Puspadewi dan dua mantan direksi lainnya merupakan bukti penegakan hukum yang tegas terhadap dugaan kerugian negara. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang mempertanyakan keadilan substantif dari putusan tersebut, karena keputusan akuisisi bisnis PT. JN sejatinya merupakan sebuah langkah profesional untuk memperkuat layanan penyeberangan nasional dan membawa keuntungan bagi negara. Banyak pengamat dan masyarakat sipil menyoroti vonis pidana terhadap kasus ini karena tindakan yang dilakukan telah sejalan dengan prinsip BJR dan telah beriktikad baik tetapi malah dikriminalisasi. Namun, seiring kekhawatiran akan adanya kegagalan dalam penerapan keadilan yang bermanfaat tersebut kemudian dibenarkan secara hukum melalui pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo terhadap Ira Puspadewi dan dua mantan direksi lainnya yang  secara bertahap memulihkan nama baik dan mengindikasikan adanya kesalahan atau bias dalam pertimbangan hukum (legal reasoning) Majelis Hakim.

ANTARA KEADILAN DAN FAKTA DI LAPANGAN 

Merujuk pada Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang dijatuhkan terhadap terdakwa dalam putusan Nomor 68/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jakarta Pusat bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan menguntungkan orang lain dan menyalahgunakan kewenangan secara bersama-sama dalam proses akuisisi PT. JN. Dalam amar putusan mayoritas, dua hakim anggota menilai bahwa proses akuisisi dilakukan tanpa penerapan prinsip kehati-hatian dan menyebabkan kerugian negara. Meski demikian, dalam musyawarah pengambilan keputusan, Ketua Majelis Hakim Sunoto menyampaikan dissenting opinion. Dissenting opinion merupakan sebuah pendapat hukum yang ditulis oleh seorang hakim yang tidak setuju dengan opini mayoritas hakim dalam mengadili perkara. Hakim Ketua Sunoto berpendapat bahwa akuisisi PT. JN adalah bagian dari keputusan strategis korporasi yang telah sejalan dengan BJR yaitu doktrin hukum yang melindungi direksi dari pemidanaan sepanjang keputusan bisnis diambil secara rasional, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest), dan dilandasi iktikad baik (good faith). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat setidaknya dua tafsir legal reasoning antara majelis hakim yang menandakan bahwa terdapat celah serius dan ambiguitas hukum dalam kasus ini.

Fakta adanya akuisisi bisnis yang dilakukan oleh PT. ASDP kepada saham PT. JN, kemudian terjadi KSU. Pada dasarnya, kerja sama adalah alat yang sangat penting dan cerdas dalam berbisnis atau bekerja. Tujuannya bukan cuma sekadar menambah untung, kerja sama berfungsi sebagai pemicu agar ide bisnis berpeluang menghasilkan yang terbaik untuk perusahaan. Ini adalah tempat di mana orang-orang penting bisa mengadu, menyaring, dan menggabungkan berbagai pemikiran dan sudut pandang yang berbeda. KSU ini, dalam konteks korporasi BUMN, seharusnya menjadi langkah penting yang didukung oleh tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Namun, KSU tersebut dilakukan oleh direksi tidak dengan persetujuan dewan komisaris. Ketiadaan persetujuan formal dari Dewan Komisaris inilah yang kemudian dijadikan salah satu landasan utama dakwaan jaksa penuntut umum. Meskipun direksi berargumen bahwa keputusan tersebut diambil demi kecepatan dan keuntungan bisnis yang jelas, dalam ranah hukum tindak pidana korupsi, pelanggaran yang terkait prosedural ini langsung diinterpretasikan sebagai ‘penyalahgunaan kewenangan’ yang berpotensi merugikan negara. Tindakan yang dalam dunia bisnis dianggap sebagai risiko terukur atau kelalaian administratif karena iktikad baik, di hadapan hukum pidana diperlakukan sebagai tindakan kriminal karena mengabaikan prosedur yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan prinsip kehati-hatian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 yang memiliki karakteristik sama, yaitu Direktur Utama BUMN akuisisi bisnis yang mana akuisisi itu dianggap merugikan negara, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menyatakan bersalah dalam putusannya, tapi Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan di bawahnya karena itu bukan tindak pidana, Mahkamah Agung menetapkan kaidah hukum bahwa kerugian akibat pelaksanaan BJR bukan merupakan tindak pidana sepanjang tidak ada benturan kepentingan, atau perbuatan melawan hukum. Lebih lanjut, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dalam hal ini memperkaya Adjie (beneficial owner) PT. JN sebesar Rp1,25 triliun, yang selanjutnya dianggap merugikan keuangan negara. Tetapi, angka ini hasil dari audit forensik internal KPK. Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024, KPK tidak termasuk instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara. 

Penuntut umum mengklaim bahwa berdasarkan Pasal 97 ayat (2)  UU PT yang menyebutkan bahwa pengurusan perseroan harus dilakukan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Dari dakwaan  penuntut umum, Ira dan rekan direksi lainnya dianggap tidak memenuhi hal tersebut karena mengabaikan uji tuntas teknis (engineering due diligence) terkait sembilan kapal yang bermasalah. Hal tersebut melanggar Pasal 97 ayat (5) huruf a UU PT yang menyebutkan bahwa direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian. Dalam kasus ini, Ira Puspadewi tidak dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut tidak terjadi karena kelalaian. Namun, meskipun perbuatan tersebut dianggap sebagai kelalaian berat tetapi didalamnya tidak terdapat unsur kesengajaan dari tindakannya. Sehingga, tidak ada mens rea dan tidak dapat dipidana.

INKONSISTENSI HUKUM SEBAGAI SUMBER KETIDAKPERCAYAAN PUBLIK

Kasus vonis Ira Puspadewi, yang kemudian diakhiri dengan rehabilitasi oleh Presiden Prabowo, telah mengirimkan gelombang kejut yang mendalam ke seluruh sistem hukum dan menimbulkan penyusutan serius terhadap kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, terutama di pengadilan. Putusan mayoritas Majelis Hakim yang mempidanakan Direksi PT. ASDP menunjukkan ketidakmampuan membedakan secara tegas antara risiko bisnis (Business Risk) yang dilindungi oleh BJR dengan mens rea dalam tindak pidana korupsi.

Ketika putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dibatalkan secara moral oleh Presiden, hal ini mengirim pesan kepada publik bahwa keputusan hakim tidaklah suci dan dapat diintervensi karena dianggap cacat. Penggunaan angka kerugian negara sebesar Rp1,25 triliun yang diklaim oleh Penuntut Umum berdasarkan audit forensik KPK yang tidak berwenang menyatakan kerugian negara sebagaimana ditegaskan dalam SEMA No. 2 Tahun 2024 semakin mempertanyakan objektivitas dan validitas proses pembuktian jaksa. Publik akan cenderung melihat aparat penegak hukum sebagai pihak yang memaksakan pasal tanpa didukung alat bukti yang sah dan berwenang.

Inkonsistensi putusan, ketidaksatuan pertimbangan hukum internal dari majelis hakim, serta tidak adanya keadilan yang bermanfaat dalam putusan menyebabkan turunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Hal ini tidak boleh dibiarkan karena kepercayaan merupakan salah satu dasar terwujudnya sebuah negara hukum. Tanpa kepercayaan, setiap kebijakan akan dipandang curiga dan setiap putusan akan dipertanyakan. Indonesia sebagai negara demokrasi memberikan kebebasan berpendapat kepada warga negaranya dengan batas tertentu. Pendapat dan kritik harus berkualitas dengan berlandaskan pada fakta dan pemahaman yang baik terhadap norma hukum yang ada. Sebab kritik yang dangkal hanya menghasilkan kegaduhan, sedangkan kritik yang tepat sasaran akan menjadi bahan koreksi terhadap lembaga negara dan aparat penegak hukum.

Meskipun Rehabilitasi dari Presiden tentu membawa kelegaan yang sangat berarti dan mempertanyakan independensi dan integritas aparat penegak hukum. Justru karena itu, suara dan kritik dari masyarakat menjadi sangat penting sebagai bentuk pengawasan agar hukum tidak disalahgunakan atau dibelokkan dari tujuannya. Pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap Ira Puspadewi dan dua mantan direksi lainnya menunjukkan bahwa negara masih membuka ruang koreksi ketika hukum tidak berjalan sesuai tujuannya yakni kemanfaatan dan keadilan substantif. Keputusan dari Presiden Prabowo ini seolah menjadi pengakuan publik bahwa putusan yang menjerat Ira Puspadewi dan dua mantan direksi lainnya adalah keliru dan tidak adil. Bagi keluarga, rehabilitasi ini jauh lebih berharga daripada sekadar pembebasan. Ira Puspadewi hanyalah seseorang yang menjalankan amanah dari negara dengan iktikad baik. Akhirnya, kebenaran yang mereka yakini selama ini menemukan jalannya, dan rasa lega itu membebaskan mereka dari belenggu kecemasan yang berkepanjangan. 

Referensi

Agustina, Maya, Nilasari Siagian, and Andri Nurwandi. “Analisis Yuridis Terhadap Praktik Kerjasama Usaha Online Shop Fstore.id Di Kelurahan Sukaraja Kecamatan Medan Maimun Kota Medan.” Pusdikra -publishing.com, vol. 3, no.2, June 2024. https://pusdikrapublishing.com/index.php/jhkm/article/view/1853/1602

Andriani, Yosephine Fransisca, and Risca Selfeny. 2024. “Restrukturisasi Perusahaan Dalam Konteks Akuisisi: Implikasi Hukum Dan Strategi Bisnis Di Indonesia.” Jurnal Hukum Statuta, vol. 4, no. 1, December 2024, https://ejournal.upnvj.ac.id/statuta/article/view/10000/3387

Dandapala.com. “PN Jakpus Vonis Eks Dirut ASDP 4,5 Tahun Penjara, 1 Hakim Dissenting,” November 20, 2025. https://dandapala.com/article/detail/pn-jakpus-vonis-eks-dirut-asdp-45-tahun-penjara-1-hakim-dissenting.

KumparanNEWS. “3 Keraguan Hakim Sunoto Yang Nilai Ira Puspadewi Dkk Tak Layak Dipidana.” Kumparan, November 20, 2025. https://kumparan.com/kumparannews/3-keraguan-hakim-sunoto-yang-nilai-ira-puspadewi-dkk-tak-layak-dipidana-26HT3S689ZV/3 

NTVNews. “Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi: Aku Ditahan Bukan Karena Korupsi, Tapi Diframing Seolah Kejahatan – Ntvnews.id.” Ntvnews.id, 2025. https://www.ntvnews.id/news/0173723/eks-dirut-asdp-ira-puspadewi-aku-ditahan-bukan-karena-korupsi-tapi-diframing-seolah-kejahatan.

Prasetyo, Doni Damara Eko, Muhammad Badrus Salam Robieth As Syadili, and Yulianingsih. “Perlindungan Hukum Terhadap Direksi Atas Keputusan Bisnisnya Sesuai Prinsip Business Judgement Rule.” Yurispruden 6, no. 2 (June 2023): 203–23. https://doi.org/10.33474/yur.v6i2.19654.

Weruin, Urbanus Ura. “Dissenting Opinion Para Hakim Dalam Pengadilan: Fungsi Dan Ancamannya.” -. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, vol. 7, no.10, October 2024. https://jiip.stkipyapisdompu.ac.id/jiip/index.php/JIIP/article/download/6183/4627/40634

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946.  

Putusan Mahkamah Agung nomor 121 K/Pid.Sus/2020. 

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 2 Tahun 2024.

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 

PENULIS

Evi Sulistianti – LP2KI XVIII

M. Dzulfikar Masdar – LP2KI XVIII


Share the Post:

Related Posts