Kemudahan akses teknologi dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat menimbulkan tingginya dorongan untuk memperoleh segala hal dengan instan. Pola pikir instan tersebut tidak hanya mempengaruhi gaya hidup masyarakat, tetapi juga berdampak langsung pada cara mengambil keputusan di bidang keuangan. Dampak tersebut mengakibatkan banyaknya masyarakat Indonesia melakukan aktivitas keuangan ilegal, seperti investasi ilegal maupun pinjaman online. Disebut sebagai penawaran investasi ilegal karena tidak memiliki izin resmi dan menjanjikan keuntungan tidak wajar. Semua aktivitas ini tergolong memiliki modus operandi dan fokus yang berbeda, seperti Pinjaman Online Ilegal, Skema Ponzi dan Piramida, Bitnest Platform Kripto Ilegal, Arisan Ilegal/Fiktif atau dengan contoh spesifik seperti AMG Pantheon.
Investasi ilegal menimbulkan dampak negatif yang signifikan mencakup tiga lapisan utama seperti individu, ekonomi, dan negara. Pada tingkat individu, korban mengalami kerugian finansial besar, utang menumpuk, kebangkrutan, serta trauma psikologis dan sosial yang menurunkan kesejahteraan hidup. Di sisi lain, pada ranah ekonomi dan sektor jasa keuangan, skema ini merusak kepercayaan publik terhadap lembaga resmi seperti bank dan pasar modal, mengalihkan dana dari sektor produktif, serta berpotensi menciptakan ketidakstabilan sistemik jika melibatkan skala besar. Lalu dampak bagi negara yaitu hilangnya pendapatan pajak, beban berat penegakan hukum, dan risiko pencucian uang yang melibatkan kejahatan terorganisir.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sepanjang November-Desember 2025 estimasi kerugian negara akibat aktivitas keuangan ilegal mencapai Rp142 triliun sejak tahun 2017 hingga Mei 2025. Upaya OJK pun kian masif dengan menyediakan platform aduan seperti SIPASTI (Sistem Informasi Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal) yang melibatkan 15 lembaga lain seperti Bank Indonesia, Badan Intelijen Negara, Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, hingga Kementerian Pendidikan. Sinergi tersebut mencatat sebanyak 4.344 perusahaan yang menyediakan jasa aktivitas ilegal pinjaman online tidak berizin dan 943 pihak yang menawarkan investasi ilegal. Angka tersebut bukanlah angka yang kecil, dan menunjukkan keprihatinan besar negara dalam memberantas aktivitas online ilegal.
Fenomena yang menciptakan medan risiko baru yang belum terpetakan sepenuhnya, menimbulkan sistem hukum yang tertatih-tatih. Regulasi selalu tertinggal (pacing problem) dibandingkan kecepatan inovasi produk fintech. Ketergantungan pada Undang-Undang Perbankan lama seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU No. 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang sudah tidak relevan menjadikan lemahnya regulasi nasional. Kedua peraturan tersebut dirancang untuk perbankan konvensional berbasis fisik tanpa mengakomodasi model digital seperti peer-to-peer lending, cryptocurrency, atau open banking yang mendominasi fintech saat ini. Di sisi lain, UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak secara langsung mengatur aktivitas online ilegal, melainkan memberi wewenang OJK untuk mengawasi sektor jasa keuangan termasuk fintech legal, sementara aktivitas ilegal seperti pinjaman online bodong ditangani melalui koordinasi dengan Satgas Waspada Investasi. Belum adanya payung hukum menyeluruh untuk semua produk fintech menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas ilegal online. Penegakan hukum yang lemah, lambat, serta minimnya mekanisme ganti rugi semakin melemahkan sistem hukum secara keseluruhan.
Manajer Madya OJK Provinsi Sulselbar Meilthon Purba S.E., M.M., CFP menjelaskan bahwa upaya OJK tidak hanya berhenti pada platform aduan seperti SIPASTI, namun juga peningkatan edukasi serta kampanye literasi keuangan yang intensif. Salah satunya dengan kampanye 2L (Legal dan Logis) oleh OJK yaitu Legal bahwa lembaga atau produk keuangan tersebut harus terdaftar dan mempunyai izin resmi OJK, sedangkan Logis berarti hasil atau keuntungan harus masuk akal dan tidak menjanjikan keuntungan yang sangat tinggi dengan risiko yang besar. Selain itu, OJK meluncurkan Program Bulan Literasi Keuangan (BLK) 2025 secara nasional melalui sosialisasi di sekolah, komunitas, dan media digital. Upaya-upaya ini diharapkan menjadi jalan menuju literasi keuangan yang sejahtera bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Berkembangnya investasi dan layanan keuangan ilegal menunjukkan bahwa percepatan teknologi tanpa diimbangi regulasi dan literasi yang memadai dapat menimbulkan kerugian multidimensi bagi individu, perekonomian, dan negara. Upaya OJK seperti SIPASTI, kampanye 2L, dan Program Bulan Literasi Keuangan (BLK) 2025 telah menunjukkan komitmen kuat dalam edukasi dan pengawasan. Akan tetapi, kelemahan regulasi nasional terutama ketergantungan pada UU Perbankan seperti UU No. 7 Tahun 1992 dan UU No. 10 Tahun 1998 masih menghambat respons cepat terhadap inovasi fintech. Hal tersebut mengakibatkan sistem hukum tertinggal (pacing problem) dan menciptakan celah bagi aktivitas online ilegal. Oleh karena itu, diperlukan reformasi regulasi komprehensif guna menyelaraskan regulasi dengan dinamika digital, serta memperkuat kolaborasi lintas lembaga guna mewujudkan inklusi keuangan yang berkelanjutan.
Referensi
Fery Firmansyah, “OJK: Kerugian Akibat Investasi Ilegal Rp 142 Triliun,” TEMPO, Diakses 12 Desember 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/ojk-kerugian-akibat-investasi-ilegal-rp-142-triliun-1725342#google_vignette.
Mochamad Januar Rizki, “Sinergi Regulasi Masih Jadi Persoalan Lindungi Konsumen Fintech P2P,” Hukum Online, Diakses 12 Desember 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/sinergi-regulasi-masih-jadi-persoalan-lindungi-konsumen-fintech-p2p-lt6051cd5212a40/.
Rizka Khaerunnisa, “OJK luncurkan Bulan Literasi Keuangan 2025,” ANTARA, Diakses 12 Desember 2025, https://www.antaranews.com/berita/4852513/ojk-luncurkan-bulan-literasi-keuangan-2025.
Wahyu Suryo Purnomo, “Tips 2L dari OJK untuk Menghindari Investasi Ilegal,” Radio Republik Indonesia, Diakses 12 Desember 2025, https://rri.co.id/keuangan/851511/tips-2l-dari-ojk-untuk-menghindari-investasi-ilegal.
Rinaldi, Rony Ricky, Irwandi, Muhammad Amin, “KEWENANGAN OJK DALAM PENGAWASAN PINJAMAN ONLINE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN,” Limbago: Journal of Constitutional Law. Vol. 4, no. 3 (2024).
Qinvi, Nada Ulya, “Penindakan Terhadap Aplikasi Pinjaman Online Ilegal Di Google Play Store Play Store,” Technology and Economics Law Journal. Vol. 1, No. 2 (2022). 10.21143/TELJ.vol1.no2.1011.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Penulis

Razha Alfiah Syahrir – LP2KI XVIII

