Permasalahan agraria di Indonesia merupakan tantangan pemerintah yang tak kunjung selesai. Salah satu konflik agraria yang hingga sekarang masih cukup panas ialah konflik yang melibatkan warga Polongbangkeng dengan PT. Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV yang sekarang menjadi PTPN I) Pabrik Gula Kabupaten Takalar. Konflik agraria ini bermula pada “perampasan” tanah yang dilakukan oleh PTPN I pada tahun 1978–1981. Dalam hal “perampasan” ini terdapat berbagai macam perspektif mengenai asal muasal yang menjadi penyebabnya, ada yang mengatakan bahwa konflik ini dimulai dengan perjanjian sewa-menyewa antara warga Polongbangkeng dengan PTPN I dengan iming-iming sebuah kompensasi untuk penggunaan selama 25 tahun, akan tetapi pihak PTPN I ternyata menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) di atas lahan tersebut. Seolah-olah pihak PTPN I ingin mengelabui warga Polongbangkeng dengan usaha yang terkesan manipulatif.
Sedangkan dari catatan LBH Makassar, perampasan tanah ini dilakukan dengan penuh kekerasan, intimidasi, hingga penembakan. Salah seorang warga Polongbangkeng bersaksi bahwa saat pembebasan lahan, salah seorang warga pernah ditahan selama berbulan-bulan oleh pihak kepolisian karena tidak ingin memberikan tanahnya kepada perusahaan. Namun, setelah dibebaskan dari tahanan, warga tersebut mendapati lahan miliknya sudah menjadi lahan perkebunan yang ditanami tebu.
Diketahui luas areal tanah yang digunakan PTPN I Kabupaten Takalar adalah 6.782,15 ha. Pada tahun 2013 telah ada upaya penyelesaian konflik melalui skema kerjasama, namun serangkaian intimidasi dan kekerasan terhadap petani, bahkan perusakan kebun dan sawah siap panen terus terjadi sepanjang tahun 2014–2015. Pada April 2015, PTPN I Kabupaten Takalar juga pernah secara sepihak dan sewenang-wenang telah melakukan pengerusakan sawah dan kebun warga Polongbangkeng.
Perampasan tanah berdampak pada ketidakmampuan petani untuk mengelola lahannya sendiri. Tidak sedikit dari warga Polongbangkeng terpaksa menjadi buruh bangunan dan bahkan harus meninggalkan kampung untuk merantau mencari pekerjaan demi menghidupi keluarganya. Daeng Ngati, petani perempuan dari Desa Lassang Barat, Polongbangkeng Utara mengaku pemerintah ingkar janji dan membuat warga sengsara. Warga yang tidak terima tanahnya diambil telah melakukan berbagai perlawanan hingga saat ini, sebagai upaya untuk merebut kembali tanah tersebut. LBH Makassar menyebutkan bahwa sejak berdirinya pada 1978 silam, pabrik gula di Takalar telah merampas tanah warga dan kondisi seperti ini berlangsung hingga sekarang.
Ada beberapa masalah yang kemungkinan menjadi hambatan dari penyelesaian sengketa tanah ini. Pertama, Kedudukan PTPN I Kab. Takalar, Sulawesi selatan adalah bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tercatat sebagai kekayaan negara serta aset atau tanah yang dikelola tersebut sudah terdaftar sebagai milik negara. Kedua, Terdapat ketakutan oleh pejabat yang berwenang untuk mengusut konflik agraria yang awalnya milik warga Polongbangkeng karena akan merugikan kepentingan ekonomi dan berpotensi mengganggu investasi negara. Ketiga, Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar Sudah tidak memberikan rekomendasi perpanjangan Masa Hak Guna Usaha (HGU) kepada PTPN I karena warga Polongbangkeng merasa keberatan atas pemanfaatan lahan tersebut.
Adapun solusi yang dapat pemerintah dorong untuk menyelesaikan permasalahan sengketa ini dan sebagai alternatif supaya bisa memberikan rasa adil terhadap warga Polongbangkeng. Yang Pertama, Pemerintah dapat menginisiasi penerbitan Hak pengelolaan (HPL) atas tanah yang dikuasai negara untuk PTPN I Kabupaten Takalar Supaya Warga Polongbangkeng dapat membentuk kerja sama antara pihak PTPN I melalui penerbitan Hak Pakai atas Hak Pengelolaan. Kedua, Mengerahkan warga Polongbangkeng untuk menggugat ke pengadilan, agar tanah yang awalnya milik mereka dapat kembali dikelola sendiri. Akan tetapi, hal ini memiliki tantangan yang cukup besar karena tidak semua warga polongbangkeng masih menyimpan bukti-bukti berupa rinci yang menjadi bukti kepemilikan atas tanah pada masa itu.
Pemerintah harus mengambil langkah serius dan bertanggung jawab atas PTPN I Kabupaten takalar tersebut karena berkaitan dengan hak warganya. Apabila Pemerintah setempat tidak bisa mendorong pengembalian hak tersebut, seharusnya pemerintah dapat mencari alternatif supaya warga Polongbangkeng bisa mendapatkan manfaat dari lahan yang dikelola oleh PTPN I tersebut. Karena sesuai yang tertuang di dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang 39 Tahun 2014, bahwa HGU yang bergerak pada bidang perkebunan harus memfasilitasi budidaya kebun masyarakat setempat minimal sebanyak 20% untuk dimanfaatkan. Pemerintah juga dapat mendorong penerbitan Hak Pengelolaan (HPL) diatas tanah negara tersebut, supaya warga Polongbangkeng dapat membentuk kerja sama melalui Hak Pakai Atas Tanah oleh pihak PTPN I. Ini merupakan upaya pemerintah setempat untuk memberikan hak dan manfaat kepada warga Polongbangkeng.
Referensi Penulis:
Petani Polongbangkeng Duduki Kantor Bupati Takalar, Tuntut Penyelesaian Konflik Agraria. (5 Sep. 2024). Radarselatan.co.id. Diakses tanggal 25 Okt. 2024. Dari https://radarselatan.fajar.co.id/2024/09/05/petani-polongbangkeng-duduki-kantor-bupati-takalar-tuntut-penyelesaian-konflik-agraria/
Ironi Pabrik Gula yang Tak Manis Bagi Petani di Takalar. (3 Nov. 2023). harianfajar.co.id. Diakses tanggal 25 Okt. 2024. Dari https://www.kpa.or.id/2023/11/13/ironi-pabrik-gula-yang-tak-manis-bagi-petani-di-takalar/
Hasan, kamsah. (12 Sep. 2024). Konflik Lahan Takalar: Petani Ungkap Sejarah Kelam Perampasan Tanah. 26 Oktober 2024. Dari https://makassar.terkini.id/konflik-lahan-takalar-petani-ungkap-sejarah-kelam-perampasan-tanah/
Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi dari Enam Negara Asia. (27 Feb. 2024). kpa.or.id. Diakses tanggal 27 Oktober 2024. Dari
Penulis:
Sulfahmi Amir
LP2KI XVII