TAMBANG NIKEL DI RAJA AMPAT: LUKA STRUKTURAL ATAS NAMA PEMBANGUNAN

Kontekstualitas

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang secara resmi diakui melalui Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982. Indonesia memiliki wilayah perairan sekitar 6,4 juta km² dan lebih dari 17.000 pulau. Keunggulan geografis ini menghadirkan kekayaan luar biasa dalam sektor perikanan, energi terbarukan, pariwisata bahari, hingga budaya pesisir. Oleh karena itu, pengelolaan yang bijak dan berkelanjutan menjadi kunci agar kekayaan ini dapat dimanfaatkan tanpa merusak ekosistem maupun hak-hak masyarakat pesisir.

Salah satu kawasan yang merepresentasikan kekayaan maritim Indonesia adalah Kepulauan Raja Ampat di Provinsi Papua Barat Daya. Wilayah ini dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia karena berada di jantung segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle). Ekosistem laut yang terdapat di Raja Ampat sangat kaya, terdiri dari ratusan spesies terumbu karang serta flora dan fauna yang sangat beragam. Raja Ampat juga memiliki nilai penting dalam bidang konservasi, penelitian ilmiah, dan pendidikan lingkungan.

Tambang Nikel dan Ancaman Sistemik

Kekayaan dan keindahan Raja Ampat kini terancam oleh aktivitas pertambangan nikel di beberapa pulau seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Penambangan ini menuai kontroversi karena dinilai melanggar ketentuan hukum yang ada, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, yang melarang aktivitas ekstraktif di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km². Penambangan ini berpotensi merusak ekosistem laut yang selama ini dijaga ketat oleh masyarakat adat. Protes terhadap aktivitas ini disuarakan oleh berbagai pihak, salah satunya oleh aktivis Greenpeace Indonesia dalam Indonesia Critical Minerals Conference & Expo 2025 pada tanggal 3 Juni 2025. Kepala Global Greenpeace, Kiki Taufik, menyatakan bahwa pertambangan nikel di Raja Ampat mengancam sektor ekowisata yang berkontribusi sekitar 15 persen terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu sekitar 7,5 miliar rupiah pada tahun 2020. Pengembangan tambang juga berisiko merusak ekosistem yang menjadi daya tarik wisata dan sumber mata pencaharian masyarakat setempat.

Belajar dari kasus pertambangan nikel di Konawe Utara, pengelolaan limbah tambang yang buruk menyebabkan pencemaran laut akibat logam berat dan bahan kimia berbahaya. Dampaknya termasuk kerusakan terumbu karang, pencemaran air laut, dan gangguan pada populasi ikan. Jika skenario serupa terjadi di Raja Ampat, maka bukan hanya lingkungan yang rusak, tetapi juga keberlangsungan hidup masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidup pada laut.

Secara normatif, meskipun pemerintah telah memiliki perangkat hukum seperti UU No. 27 Tahun 2007 dan perubahannya melalui UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, implementasi di lapangan masih lemah. Kegiatan pertambangan sebagai bentuk pemanfaatan ruang semestinya memerlukan izin lokasi, izin pelaksanaan, serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang inklusif dan partisipatif. Namun dalam banyak kasus, masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam penyusunan AMDAL, padahal pendapat mereka termasuk dalam syarat penyusunan AMDAL yang di atur dalam Pasal 25 Poin C dan Pasal 26 UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jika masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam proses penyusunan AMDAL, mereka dapat mengajukan keberatan sesuai dengan Pasal 26 (4) UU No 32 Tahun 2009 tetapi banyak masyarakat lokal yang tidak tau tentang hal tersebut. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah, karena mencerminkan kegagalan dalam melindungi hak-hak masyarakat serta menunjukkan ketimpangan dalam tata kelola sumber daya alam.

Di tengah lemahnya implementasi regulasi dan minimnya pelibatan masyarakat dalam proses AMDAL, masyarakat adat Raja Ampat telah lama memiliki mekanisme pengelolaan lingkungan yang terbukti efektif dan berkelanjutan. Masyarakat adat Raja Ampat sebenarnya memiliki kearifan lokal dalam menjaga kelestarian laut, salah satunya melalui tradisi Sasi Laut, yaitu sistem pengelolaan sumber daya berkelanjutan dengan cara melarang eksploitasi berlebihan pada wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Tradisi ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat telah lama memahami pentingnya keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian. Sayangnya, pemerintah dan pihak industri justru sangat sering mengabaikan keberlanjutan ekosistem laut yang ada.

Dengan demikian, terdapat kontradiksi yang nyata antara eksploitasi tambang nikel dan keberlanjutan ekosistem laut di Raja Ampat. Potensi ekonomi dari nikel memang besar, terutama di tengah meningkatnya permintaan global untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Pemerintah melihat pembangunan tambang sebagai peluang strategis untuk mendorong hilirisasi industri dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, jika dilakukan dengan mengorbankan lingkungan, keanekaragaman hayati, serta hak masyarakat lokal, maka hasil yang diperoleh tidak akan sebanding dengan kerugiannya. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan tambang di wilayah ini, termasuk mengevaluasi izin yang telah dikeluarkan dan memastikan bahwa setiap aktivitas industri mematuhi hukum serta prinsip pembangunan berkelanjutan.

Komitmen Pemerintah yang Dipertanyakan

Pemerintah Indonesia, melalui beberapa kementerian utama, telah memberikan tanggapan terhadap isu ini. Dikutip dari detikbali, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tengah mengembangkan langkah-langkah penegakan hukum terkait isu ini. Sekretaris Utama KLH menegaskan bahwa proses pengembangan langkah hukum sedang berjalan, meski belum memberikan detail mengenai AMDAL dari aktivitas penambangan tersebut. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, juga menegaskan akan mengunjungi Raja Ampat untuk melihat langsung kondisi di lapangan. Ia menyatakan siap mengambil langkah hukum jika ditemukan pelanggaran, setelah melakukan penelitian dan pemetaan terkait aktivitas penambangan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, dikutip dari detikbali, menyampaikan bahwa pemerintah akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. Evaluasi ini akan melibatkan pemanggilan para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), baik dri BUMN maupun swasta. Segala langkah langkah tersebut menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi, perlindungan lingkungan dan penghormatan terhadap kearifan lokal di Raja Ampat.

Janji evaluasi dan rencana kunjungan lapangan terdengar sangat menjanjikan, jika bukan bagian dari pola lama yang selalu berujung pada reaksi lambat, respons normatif, dan kebijakan yang tak kunjung konkret. Pemerintah tampak mahir dalam menyusun narasi “komitmen lingkungan,” meskipun fakta di lapangan berkata lain. Saat hutan mulai gundul dan terumbu karang rusak, masyarakat hanya diminta bersabar menunggu hasil evaluasi dan pemanggilan IUP yang tak jelas kapan selesai. Tidak heran jika publik mulai mempertanyakan: apakah benar negara hadir untuk melindungi, atau justru hadir terlalu terlambat setelah kerusakan terjadi?

Jika mempertimbangkan dampak ekologis hanya sebatas dokumen AMDAL yang kerap disusun tanpa partisipasi masyarakat, maka keadilan lingkungan yang dijanjikan tak lebih dari formalitas administratif. Di balik narasi “kearifan lokal” yang sering dielu-elukan, suara masyarakat adat justru sering dianggap sebagai pelengkap pidato, bukan sebagai pihak utama yang mesti didengarkan. Kini ini saatnya pemerintah membuktikan bahwa komitmen bukan sekadar jargon, dan perlindungan bukan sekadar kunjungan.

Bagi masyarakat, Raja Ampat merupakan Surga Terakhir di Indonesia. Isu ini menimbulkan kritik tajam terhadap komitmen pemerintah dalam menjaga keseimbangan Raja Ampat. Melihat kompleksitas dampak ekologis, sosial, dan hukum dari aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, solusi paling rasional sekaligus mendesak adalah penghentian total segala bentuk eksploitasi tambang di wilayah ini. Keunikan Raja Ampat sebagai kawasan konservasi laut kelas dunia, pusat keanekaragaman hayati global, serta sumber penghidupan masyarakat adat tak dapat dipertaruhkan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Pemerintah perlu menunjukkan ketegasan hukum dengan mencabut izin usaha pertambangan yang melanggar aturan, dan menghentikan seluruh proses perizinan baru di pulau-pulau kecil sesuai amanat UU No. 1 Tahun 2014. Lebih jauh, penegakan regulasi harus dilakukan secara konsisten dan transparan, termasuk dengan audit independen terhadap dokumen AMDAL serta pelibatan penuh masyarakat adat dalam pengambilan keputusan. Tanpa langkah ini, seluruh pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan dan penghormatan terhadap kearifan lokal hanya akan menjadi ilusi administratif. Pemerintah harus berpihak pada masa depan bukan pada eksploitasi masa kini dengan menempatkan pelestarian Raja Ampat sebagai prioritas utama kebijakan kelautan dan lingkungan nasional.

Daftar Pustaka

Auriga Nusantara. 2025. “Experts and Advocates Warn of Nickel Mining’s Risk to Precious Marine Region of Indonesia.” January 30, 2025. https://apnews.com/article/nickel-mining coral-reefs-indonesia-evs-raja-ampat-c4dfe12a5bd97eac2f9e3a19f17b5b3c.

Deniyatno, D., and A. Armid. 2022. “Status Kawasan Laut Akibat Aktivitas Pertambangan Nikel di Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.” OPHIOLITE: Jurnal Geologi Terapan 4, no. 2: 123–133. https://ojs.uho.ac.id/index.php/Ophiolite/article/view/37282.

Greenpeace Indonesia. 2025. “#SaveRajaAmpat.” https://www.greenpeace.org/indonesia/aksi/save-raja-ampat/.

Greenpeace Indonesia. 2025. “Kritik Industrialisasi Nikel, Aktivis Greenpeace Gelar Aksi di
Konferensi Nikel Internasional.” June 3, 2025. https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers-2/63070/aktivis-greenpeace-aksi-di-konferensi-nikel-internasional/.

Saputro, A. N., E. N. Sari, and F. A. R. Putri. 2024. “Analisis Penyelesaian Limbah Tambang Nikel di Konawe Utara yang Mencemari Laut Sekitarnya.” Prosiding Seminar Nasional Teknologi Industri Berkelanjutan IV (SENASTITAN IV), 1–9. https://ejournal.itats.ac.id/senastitan/article/view/5632/3822.

Samperante, Franky. 2025. “Aksi Aliansi Jaga Alam Raja Ampat: Tolak Ekspansi dan
Eksploitasi Pertambangan Nikel.” Pusaka.or.id. https://pusaka.or.id/news/aksi-aliansi-jaga alam-raja-ampat-tolak-ekspansi-dan-eksploitasi-pertambangan-nikel/.

Setyo, Rizki. 2025. “KLH Respons Laporan Eksploitasi Tambang Nikel di Raja Ampat.”
Detikbali.com. https://www.detik.com/bali/bisnis/d-7947877/klh-respons-laporan-eksploitasi-tambang-nikeldi-raja-ampat.

Setyo, Rizki. 2025. “Save Raja Ampat! Menteri LH Siap Ambil Langkah Hukum soal
Tambang Nikel.” Detikbali.com. https://www.detik.com/bali/bisnis/d-7949562/save-raja-ampat-menteri-lh-siap-ambil-langkah-hukum-soal-tambang-nikel.

Tempo.co. 2025. “Greenpeace Beberkan Ancaman Tambang Nikel terhadap
Keberlangsungan Ekowisata Raja Ampat.” June 4, 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/greenpeace-beberkan-ancaman-tambang-nikel-terhadap-keberlangsungan-ekowisata-raja-ampat-1640908.

Ulim, Aida. 2025. “Raja Ampat Bukan Tempat Bisnis Tambang Nikel, Merusak Ekologi dan
Memicu Konflik.” Jubi Papua.id.
https://jubi.id/domberai/2025/raja-ampat-bukan-tempat-bisnis-tambang-nikel-merusak-ekologi-dan-memicu-konflik/.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Penulis

Awwalul Ramadhan Fisu – LP2KI XVIII

Adela Elsyaqinah I. – LP2KI XVIII

Share the Post:

Related Posts