PRE-EMPTIVE SELF-DEFENSE DALAM KONFLIK ISRAEL-IRAN: CELAH HUKUM ATAU ANCAMAN STABILITAS GLOBAL?

Kontekstualitas

Ketegangan antara Iran dan Israel memuncak pada 13 Juni 2025 setelah Israel melancarkan serangan udara ke fasilitas strategis Iran, yang kemudian dibalas dengan serangan rudal dan drone oleh Iran ke kota-kota besar di Israel. Kedua negara mengklaim bahwa aksi militer mereka adalah bentuk pembelaan diri (self-defense) berdasarkan Pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Namun, legalitas tindakan Israel menuai kontroversi karena dilakukan secara pre-emptive, dengan dalih mencegah ancaman nuklir Iran yang dianggap eksistensial. Di sisi lain, klaim Iran dianggap lebih dapat dibenarkan secara hukum karena merespons serangan bersenjata nyata yang telah menewaskan personel dan merusak infrastruktur vital mereka.

Konflik ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketimpangan dalam hukum internasional, ketika Pasal 51 ditafsirkan secara sepihak oleh negara kuat, apakah tindakan Israel benar-benar dapat dibenarkan sebagai tindakan pembelaan diri (self-defense), atau justru melanggar hukum internasional?

Opini

Hak kedaulatan merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa organisasi ini didasarkan atas asas persamaan kedaulatan semua anggotanya. Selain itu, Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB secara tegas melarang penggunaan kekuatan bersenjata atau ancaman kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Namun, sebagai pengecualian terhadap larangan tersebut, Pasal 51 Piagam PBB mengakui hak negara untuk melakukan pembelaan diri (self-defense) apabila terjadi serangan bersenjata (armed attack) terhadapnya. Ketentuan ini memberikan dasar legal bagi suatu negara untuk mempertahankan diri secara militer, selama tindakan tersebut memenuhi prinsip keharusan (necessity) dan kesebandingan (proportionality) sebagaimana diakui dalam praktik hukum internasional dan yurisprudensi Mahkamah Internasional.

Dalam Konteks ini, konflik militer antara Iran dan Israel memasuki fase eskalasi tajam pada Juni 2025 menjadi salah satu kasus yang menimbulkan polemik terkait interpretasi Pasal 51 Piagam PBB. Pada tanggal 13 Juni, Israel melancarkan serangan udara terkoordinasi yang menargetkan sejumlah fasilitas strategis di wilayah Iran, termasuk pusat pengayaan uranium dan markas Garda Revolusi Islam (IRGC). Serangan ini dilakukan dengan alasan pencegahan terhadap pengembangan senjata nuklir Iran yang dianggap sebagai ancaman eksistensial bagi keamanan nasional Israel. Selanjutnya, pada tanggal 14 dan 15 Juni, Iran merespon dengan melancarkan serangan balasan menggunakan rudal balistik dan drone ke berbagai kota besar di Israel, seperti Tel Aviv dan Yerusalem, dengan sasaran utama fasilitas militer dan infrastruktur vital. Aksi saling serang ini mengakibatkan korban jiwa yang signifikan serta kerusakan materil pada kedua belah pihak. Kedua negara mengklaim bahwa tindakan mereka merupakan tindakan pembelaan diri yang sah berdasarkan ketentuan Pasal 51 Piagam PBB. Klaim pembelaan diri (self-defense) yang diajukan oleh Israel dan Iran sama-sama merujuk pada Pasal 51 Piagam PBB, yang memberikan hak inheren kepada setiap negara anggota untuk melakukan tindakan pembelaan diri apabila mengalami serangan bersenjata. Namun demikian, masing-masing negara menafsirkan ketentuan ini secara berbeda sesuai dengan posisi politik dan narasi hukum yang mereka bangun dalam rangka membenarkan tindakan militer yang telah dilakukan.

Pemerintah Israel menyatakan bahwa serangan udara yang dilancarkan pada 13 Juni 2025 merupakan bentuk self-defense preventif atau pre-emptive self-defense yang diperlukan untuk mencegah terjadinya ancaman eksistensial dari program nuklir Iran. Menurut Israel, informasi intelijen menunjukkan bahwa iran telah melanjutkan pengayaan uranium hingga level yang mendekati tingkat senjata (weapons-grade) dan mengindikasikan adanya niat serta kapasitas untuk memproduksi senjata nuklir dalam waktu dekat. Dalam narasi Israel, kondisi tersebut membentuk ancaman yang sifatnya segera dan luar biasa, sehingga memerlukan respons militer secara mendesak sebelum kerugian yang lebih besar terjadi. Di samping itu, Israel menuduh Iran berada di balik sejumlah serangan tidak langsung melalui kelompok proksi seperti Hizbullah di Lebanon dan kelompok militan Syiah di Suriah dan Irak, yang telah menargetkan instalasi diplomatik dan kepentingan strategis Israel selama beberapa bulan terakhir. Oleh karena itu, Israel berpendapat bahwa serangan terhadap infrastruktur militer dan nuklir Iran adalah tindakan defensif yang bersifat sah, perlu, dan proporsional. 

Namun demikian, klaim pre-emptive self-defense yang diajukan Israel menimbulkan perdebatan dalam komunitas hukum internasional. Meskipun menurut doktrin Caroline membolehkan pembelaan diri preventif dalam kasus ancaman nyata dan tidak terhindarkan, doktrin Caroline merupakan prinsip dalam hukum internasional yang menetapkan syarat  “instant, overwhelming, leaving no choice of means, and no moment of deliberation” agar suatu negara dapat menggunakan kekuatan militer secara sah dalam rangka pembelaan diri, khususnya dalam konteks pre-emptive self-defense, namun banyak negara dan pakar hukum internasional yang tetap berpandangan bahwa tindakan militer yang dilakukan sebelum adanya serangan bersenjata aktual melampaui batas legalitas Pasal 51. Hal ini karena Piagam PBB secara tekstual mensyaratkan adanya serangan bersenjata (if an armed attack occurs) sebagai persyaratan pembelaan diri, sehingga interpretasi yang terlalu luas dapat membuka celah justifikasi penggunaan kekuatan sepihak yang berbahaya bagi stabilitas internasional.

Di sisi lain, Iran mengajukan klaim pembelaan diri yang didasarkan pada serangan bersenjata aktual yang dilakukan oleh Israel ke wilayah kedaulatan Iran. Menurut pemerintah Iran, serangan pada 13 Juni jelas memenuhi unsur serangan bersenjata, karena telah menimbulkan kehancuran signifikan terhadap fasilitas vital negara dan menewaskan sejumlah personel militer Iran. Berdasarkan hal tersebut, Iran mengklaim bahwa respons militer yang dilakukan pada tanggal 14 dan 15 Juni melalui peluncuran rudal balistik dan drone ke berbagai target militer di Israel merupakan bentuk pembelaan diri yang sah sesuai prinsip hukum internasional. Iran juga menekankan bahwa serangan balasan tersebut dilakukan secara terbatas, selektif, dan proporsional dengan target yang difokuskan pada fasilitas militer atau pusat komando, bukan terhadap infrastruktur sipil atau populasi non-kombatan.

Dalam menilai legalitas masing-masing klaim pembelaan diri (self-defense) oleh Israel dan Iran berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB, perlu ditegaskan bahwa hukum internasional kontemporer masih berpegang pada prinsip restriktif terhadap penggunaan kekuatan militer. Prinsip restriktif merupakan pendekatan dalam hukum internasional yang membatasi ruang lingkup penggunaan kekuatan negara, termasuk dalam konteks pembelaan diri. Hal ini ditujukan untuk menjaga stabilitas internasional serta mencegah penyalahgunaan dalih pembelaan diri sebagai justifikasi serangan sepihak. Klaim pre-emptive self-defense oleh Israel patut dicermati secara kritis, meskipun kekhawatiran Israel terhadap potensi ancaman dari program nuklir Iran mungkin tidak sepenuhnya tidak berdasar,  namun secara hukum, pendekatan yang ditempuh Israel cenderung memperluas makna serangan bersenjata secara berbahaya. Jika penggunaan kekuatan dibolehkan hanya karena adanya indikasi niat dan kapasitas musuh untuk menyerang, maka setiap negara dapat membenarkan agresi terhadap negara lain berdasarkan ancaman spekulatif, bukan fakta nyata. Pendekatan ini bertentangan dengan Pasal 51 Piagam PBB yang secara eksplisit menyatakan bahwa tindakan self-defense hanya dilakukan “if an armed attack cours”, serta berisiko mengikis prinsip non-intervention dan kedaulatan negara. Kemudian, doktrin Caroline yang sering dijadikan pembenaran tindakan pencegahan dalam hukum internasional bersifat non-mengikat dan lebih bersandar pada hukum kebiasaan abad ke-19. Meskipun doktrin ini menyebutkan syarat adanya ancaman yang “instant, overwhelming, leaving no choice of means, and no moment of deliberation”, namun penerapannya pada konteks senjata nuklir yang masih dalam tahap pengayaan merupakan bentuk interpretasi luas yang sulit diterima dalam praktik yurisprudensi modern, khususnya dalam putusan Nicaragua v. United States (1986), yang menegaskan bahwa serangan bersenjata aktual menjadi syarat pembelaan diri. Sehingga, respon Iran yang dilakukan pasca serangan udara Israel pada 13 Juni 2025 lebih mudah dikualifikasikan sebagai tindakan pembelaan diri yang sah. Fakta bahwa serangan tersebut terjadi di wilayah kedaulatan Iran, menargetkan fasilitas strategis dan menewaskan personel militer, memperkuat klaim Iran bahwa mereka menjadi korban dari serangan bersenjata. Oleh karena itu, tindakan balasan Iran berupa serangan rudal dan drone terhadap target-target militer Israel dapat dinilai memenuhi unsur keharusan (necessity) dan kesebandingan (proportionality), yang merupakan syarat mutlak dari lawful self-defense menurut praktik Mahkamah Internasional.

Dalam menghadapi konflik bersenjata antara dua negara ini, Dewan Keamanan PBB seharusnya menjadi poros utama dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Dalam kasus ini Iran telah melaporkan tindakannya secara resmi sebagai bentuk pembelaan diri ke PBB, negara-negara lainnya seperti Rusia, China, dan negara Eropa juga ikut menyerukan untuk diadakannya rapat darurat yang kemudian diselenggarakan pada tanggal 14 Juni 2025. Pada rapat tersebut Iran menyatakan bahwa tindakan agresi Israel tidak hanya menargetkan lokasi militer namun juga warga sipil, tindakan israel ini tidak hanya ilegal tapi juga tidak manusiawi. Namun, rapat darurat yang telah diadakan ternyata belum berhasil memberikan resolusi atau tindakan konkret untuk disepakati. Ketiadaan respons tegas dari Dewan Keamanan PBB membuatnya alih-alih menjadi penengah, Dewan Keamanan justru menjadi cermin ketidakberdayaan akibat tarik-menarik kekuatan veto. Menurut Fawaz Gerges, seorang profesor hubungan internasional di London School of Economics and Political Science, mengatakan bahwa konflik Iran-Israel dapat melahirkan paradigma baru bagi masyarakat internasional bahwa ketika yang berkonflik adalah negara besar atau bersekutu dengan kekuatan veto, hukum internasional hanya berlaku secara selektif.

Klaim self-defense dapat dengan mudah bertransformasi menjadi bentuk agresi terselubung. Baik Iran maupun Israel sama-sama berpotensi melanggar Piagam PBB jika tidak memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Pasal 51. Dimulai oleh serangan Israel terhadap fasilitas militer Iran, jika tidak didasari oleh ancaman serangan bersenjata yang nyata, akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Pasal 2(4) Piagam PBB. Di sisi lain, serangan balasan Iran, yang meskipun mengklaim membalas secara proporsional, tetapi menimbulkan korban warga sipil dan kerusakan infrastruktur sipil. Piagam PBB seharusnya menjadi fondasi moral dan hukum bagi komunitas internasional. Namun, paradoks paling mencolok justru muncul dari kesenjangan nyata antara aturan hukum yang tegas, seperti Pasal 2 (4) dan 51 Piagam PBB. Dengan pelaksanaan yang longgar dan subjektif di lapangan, sehingga menciptakan ruang abu-abu yang dimanfaatkan untuk tujuan politik atau militer. Konflik Israel-Iran memperjelas kesenjangan tersebut, hukum internasional telah mengatur dengan cukup jelas. Penggunaan kekuatan hanya diperbolehkan sebagai respons terhadap serangan nyata dan harus memenuhi syarat self defense dan proporsionality. Namun dalam praktiknya, negara-negara sering menafsirkan ketentuan hukum tersebut sesuai dengan kebutuhan politik, keamanan, dan citra internasional mereka. Negara-negara kuat atau yang memiliki posisi strategis dalam geopolitik internasional kerap memanipulasi terminologi hukum seperti self defense dan proporsionality untuk membenarkan tindakan agresi yang mereka lancarkan.

Konflik terbuka antara Israel dan Iran menimbulkan risiko serius terhadap stabilitas kawasan Timur Tengah, karena setiap serangan memicu efek domino seperti gangguan sistem perdagangan minyak yang mengalami kenaikan tajam sebesar 11% pasca penyerangan pertama Israel ke Iran, lalu ancaman penutupan rute pelayaran Selat Hormuz yang mengalirkan sekitar 18-20 juta barel/hari sehingga dapat memicu inflasi berupa kenaikan biaya logistik global, dan arus pengungsi dari negara berkonflik ke negara tetangga dapat memicu krisis kemanusiaan di seluruh kawasan. Dalam kondisi seperti ini, ketidakpastian hukum internasional bukan hanya membahayakan keadilan, tetapi juga memperparah kekacauan regional. Ketika hukum gagal, stabilitas pun ikut runtuh.

Agar negara-negara tidak sewenang-wenang mengklaim hak pembelaan diri sebagai dalih untuk melakukan agresi militer secara sepihak, PBB perlu menyusun dan mengesahkan suatu instrumen hukum internasional yang tegas dan jelas mengatur batasan serta legalitas penggunaan pre-emptive self-defense. Meskipun Piagam PBB melalui Pasal 51 mengakui hak inheren setiap negara untuk melakukan pembelaan diri apabila terjadi serangan bersenjata ketentuan tersebut masih memberikan ruang interpretasi yang dapat disalahgunakan oleh negara-negara tertentu untuk membenarkan tindakan militer yang sejatinya bersifat agresif. Oleh karena itu, PBB melalui Majelis umum maupun Dewan Keamanan perlu mengeluarkan resolusi interpretatif yang menegaskan bahwa penggunaan kekuatan militer secara pre-emptive hanya dapat dinyatakan sah apabila memenuhi kriteria yang sangat ketat dan objektif. Kriteria tersebut antara lain mencakup adanya bukti konkret mengenai ancaman yang nyata, luar biasa, dan tidak dapat dihindari, sebagaimana dirumuskan dalam doktrin Caroline. Lebih lanjut, resolusi tersebut juga harus menetapkan bahwa setiap klaim pembelaan diri yang bersifat pre-emptive wajib dilaporkan secara transparan kepada Dewan Keamanan, disertai dengan dokumen intelijen pendukung yang dapat ditinjau dan dievaluasi secara independen oleh badan-badan yang berwenang. Dengan menetapkan standar yang tegas dan prosedur laporan yang ketat, PBB dapat mencegah penyalahgunaan hak pembelaan diri oleh negara-negara tertentu, sekaligus menjaga integritas prinsip non-intervensi serta stabilitas sistem hukum. Langkah ini menjadi sangat penting untuk menekan legitimasi sepihak atas penggunaan kekuatan militer, yang berpotensi memicu eskalasi konflik bersenjata dan mengancam perdamaian serta keamanan global.

Daftar Pustaka

Eliza, E. Herdiyandi, dan Syofyan, H. (2014). “Intervens Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) Menurut Hukum Internasional dan Implementasinya dalam Konflik Bersenjata”. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 8(4), 1978-5186. 

United States Departement of State. (1842). The Caroline Case. Yale Law School: Lilian Goldman Law Library. https://avalon.law.yale.edu/19th_century/br-1842d.asp.

Wikipedia. (n.d). Israel War Crimes. Wikipedia The Free Encyclopedia. https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Israeli_war_crimes&action=history.

Atlantic Council. (2025). Twenty Question (and Expert Answer)  on the Israel-Iran War. Atlantic Council MENAsource. https://www.atlanticcouncil.org/blogs/menasource/twenty-questions-and-expert-answers-on-the-israel-iran-war/.

Slawson, N. (2025). First Thing: Israel Launches Strikes on “Dozens” of Sites in Iran, Targeting Nuclear Program. The Guardian. https://www.theguardian.com/us-news/2025/jun/13/first-thing-israel-strikes-sites-in-iran-targeting-nuclear-program.

United Nations. (1945). Charter of the United Nations. https://www.un.org/en/about-us/un-charter/full-text.

Slawson, N. (2025). First Thing: Israel launches strikes on “dozens” of sites in Iran, targeting nuclear program. The Guardian. https://www.theguardian.com/us-news/2025/jun/13/first-thing-israel-strikes-sites-in-iran-targeting-nuclear-program.

Borger, J., Beaumont, P., & Parent, D. (2025). Israeli strikes hit more than 100 targets in Iran including nuclear facilities. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2025/jun/13/israel-strikes-iran-nuclear-program-netanyahu.

Bartholomew, J. (2025). First Thing: Israel attacks Iran’s Arak heavy‑water reactor as Iran hits Israeli hospital. The Guardian. https://www.theguardian.com/us-news/2025/jun/19/first-thing-israel-iran-arak-heavy-water-reactor-israeli-hospital.

“A week of war that left Iran stunned and bloodied.” (2025). The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2025/jun/20/a-week-of-war-has-left-iran-stunned-and-bloodied.

“Iranian missiles hit Israel as Netanyahu threatens Tehran with more ‘on the way’.” (2025). The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2025/jun/13/israel-says-attack-on-iran-just-the-beginning.

“Israel launches strikes on Iran: what we know so far.” (2025). TheGuardian. https://www.theguardian.com/world/2025/jun/13/israel-strikes-iran-what-we-know-so-fa.

Penulis

Rasmiani – LP2KI XVII

Mei Salwa Asahara Tunisa – LP2KI XVIII

Share the Post:

Related Posts