RELEVANSI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK TERHADAP KASUS KRIMINALITAS ANAK KONTEMPORER

Perkembangan zaman yang pesat dalam aspek teknologi, sosial, dan budaya telah membawa perubahan signifikan terhadap dinamika perilaku anak-anak di Indonesia. Salah satu perubahan yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya keterlibatan anak dalam tindak kriminalitas, baik sebagai korban maupun pelaku. Fenomena ini tidak lagi terbatas pada bentuk-bentuk konvensional seperti pencurian atau perkelahian, melainkan telah bergeser ke bentuk-bentuk kejahatan yang lebih kompleks dan kontemporer, seperti cybercrime, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkotika, hingga keterlibatan dalam jaringan radikalisme. Menurut data Organisasi Bantuan Hukum yang dihimpun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham, sepanjang tahun 2020 – 2022 terdapat 2.304 kasus kejahatan pelaku anak yang jenis kejahatannya beragam, mulai dari pencurian, narkoba, penganiayaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.

Kriminalitas anak bukan hanya persoalan pelanggaran hukum semata, tetapi juga mencerminkan gejala sosial dan kegagalan sistemik dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. Dalam konteks ini, negara memiliki tanggung jawab konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Oleh karena itu, hukum harus mampu memperhatikan prinsip perlindungan anak secara menyeluruh dalam penanganan terhadap anak yang berkonflik.

Sebagai bentuk kesadaran, hukum lahir berdasarkan sumber yang ada pada masyarakat berdasarkan faktor yang mempengaruhinya, yakni salah satunya berdasarkan faktor peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat, baik yang telah menjadi peristiwa maupun yang belum menjadi peristiwa. Dengan begitu, lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPPA) yang bertujuan menciptakan sistem peradilan pidana yang ramah anak. UU ini menjadi tonggak penting dalam pergeseran paradigma hukum pidana anak di Indonesia, dari pendekatan retributif yang berorientasi pada penghukuman, menuju pendekatan restoratif yang menekankan pemulihan, keadilan social, dan reintegrasi anak ke dalam masyarakat. Dalam pendekatan ini, penanganan perkara pidana anak harus memperhatikan prinsip keadilan restoratif melalui mekanisme diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara dari jalur peradilan ke jalur non-peradilan.

Salah satu aspek fundamental dari UU SPPA dalam merelevansi maraknya kasus kriminalitas anak kontemporer adalah pergeseran pendekatan dari model retributif ke model restoratif. Pendekatan retributif yang berfokus pada pembalasan atas tindak pidana dinilai tidak sesuai lagi dengan prinsip perlindungan anak. Sebaliknya, UU SPPA mengedepankan keadilan restoratif, yaitu upaya penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga dari kedua belah pihak, dan unsur masyarakat, yang bertujuan untuk memulihkan keadaan, bukan untuk membalas.

Dalam konteks ini, diversi menjadi instrumen utama yang digunakan untuk mengalihkan perkara anak dari sistem peradilan formal ke jalur alternatif non-litigatif. Diversi diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan (penyidikan, penuntutan, dan persidangan) selama anak tidak melakukan kejahatan berat atau mengulangi perbuatan pidana.

Tujuan utama dari sistem ini bukanlah penghukuman, melainkan perlindungan dan pengembangan anak sebagai individu yang belum matang secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, Pasal 2 UU SPPA menetapkan sembilan asas yang menjadi fondasi sistem peradilan pidana anak, yaitu; (1) Perlindungan anak; (2) Keadilan; (3) Kepentingan terbaik bagi anak; (4) Non-diskriminasi; (5) Penghargaan terhadap pendapat anak; (6) Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; (7) Pembinaan dan pembimbingan anak; (8) Proporsionalitas; (9) Pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Prinsip-prinsip ini juga sejalan dengan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, serta dokumen internasional lainnya seperti Beijing Rules (1985) yang menekankan pentingnya perlindungan hukum dan keadilan khusus bagi anak dalam sistem peradilan pidana.

Dengan sistem yang bertujuan demikian, aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum, hakim), pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial, hingga masyarakat dituntut untuk tidak hanya memahami hukum secara tekstual, tetapi juga kontekstual. Proses peradilan terhadap anak menjadi multidisipliner dan menuntut sinergi antar lembaga dalam rangka menghindari stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap anak yang dapat merusak masa depan mereka. Namun, keberhasilan dari tujuan ini sangat bergantung pada kualitas implementasi di lapangan. Berdasarkan penelitian Tuti Aryani, dkk menunjukkan bahwa pelaksanaan diversi di tingkat penyidikan masih rendah akibat kurangnya pemahaman aparat penegak hukum, minimnya dukungan fasilitas, dan rendahnya stigma masyarakat. Ini menjadi tantangan serius bagi optimalisasi peradilan pidana anak sebagai sistem yang transformatif dan adil.

Salah satu isu sentral dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) adalah persoalan batas usia anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pasal 1 angka 3 UU SPPA secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “anak yang berkonflik dengan hukum” adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan demikian, anak di bawah usia 12 tahun tidak dapat diproses secara pidana, meskipun ia melakukan perbuatan yang secara hukum tergolong tindak pidana. Sebagai gantinya, Pasal 21 ayat (1) UU SPPA dan ketentuan pelaksananya dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 mengatur mekanisme alternatif berupa pengambilan keputusan oleh penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional untuk menyerahkan anak kembali kepada orang tua/wali, atau mengikutsertakan anak dalam program pendidikan, pembinaan, atau penempatan pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) selama maksimal 6 bulan.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2025 mencuat kasus seorang anak berusia delapan tahun yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap empat anak yang di antaranya korban yang dilaporkan berusia sekitar enam dan lima tahun. Kasus ini sempat ditolak oleh kepolisian setempat ujar pelapor yang disebabkan pelaku belum memenuhi batas usia minimal berdasarkan UU SPPA. Fenomena ini menunjukkan adanya celah normatif yang menimbulkan ketimpangan dalam perlindungan hukum, baik terhadap korban maupun pelaku yang sama-sama merupakan anak. Situasi tersebut bukan hanya mengganggu rasa keadilan masyarakat, tetapi juga menimbulkan keresahan sosial serta mempertanyakan efektivitas dan relevansi UU SPPA dalam menghadapi kriminalitas anak di era kontemporer.

Alasan utama dari ketentuan batas usia minimum ini bertumpu pada pandangan bahwa anak yang belum mencapai usia 12 tahun belum memiliki kematangan psikologis dan kemampuan kognitif yang cukup untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Menurut Jean Piaget, perkembangan moral anak baru mulai memahami konsep benar dan salah secara abstrak pada usia sekitar 11–12 tahun, yang dikenal sebagai tahap formal operational stage. Dalam tahap ini, anak baru mulai dapat memahami konsekuensi sosial dan hukum dari tindakannya secara logis dan bertanggung jawab.

Meskipun ketentuan ini dilandasi oleh filosofi perlindungan anak, dalam praktiknya muncul celah normatif yang dapat menghambat proses penegakan keadilan, terutama dalam kasus-kasus berat yang dilakukan oleh anak di bawah usia 12 tahun, seperti contoh kasus yang dijelaskan sebelumnya, sehingga berimplikasi pada terhentinya proses hukum di tingkat penyidik dan korban beserta keluarganya kehilangan akses terhadap keadilan. Hal ini menimbulkan kritik terhadap efektivitas UU SPPA dalam memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak korban.

Sistem hukum ideal seyogianya dibangun atas tiga pilar utama yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sebagaimana diajarkan oleh Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum terkemuka asal Jerman. Ketiga nilai tersebut menjadi instrumen evaluatif untuk menakar sejauh mana suatu produk hukum memenuhi tuntutan keadilan sosial yang dinamis. Dalam konteks Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), ketiga nilai ini menjadi sangat relevan mengingat tujuan utama undang-undang ini bukan hanya untuk melindungi anak pelaku, tetapi juga memberikan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.

Dalam hal tujuan yang berkeadilan, UU SPPA dibentuk dengan semangat yang kuat untuk melindungi anak sebagai subjek hukum yang rentan. Pendekatan ini memang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam Konvensi Hak Anak PBB (CRC), khususnya pada Pasal 40, yang menyatakan bahwa anak yang diduga melanggar hukum harus diperlakukan secara layak dengan mengedepankan martabat dan pembangunan pribadi anak. Namun, ketika pelaku adalah anak di bawah usia 12 tahun dan korban juga adalah anak, seperti dalam kasus pelecehan seksual oleh anak berusia 9 tahun terhadap anak 4 tahun yang sebelumnya telah disebutkan, muncul pertanyaan mendasar “apakah keadilan telah tercapai jika tidak ada proses hukum yang memungkinkan perlindungan atau pemulihan bagi korban?” Di sini tampak bahwa pemaknaan keadilan dalam UU SPPA lebih banyak berpihak kepada pelaku daripada korban, sehingga nilai keadilan menjadi asimetris.

Dalam ketentuan pada UU SPPA, korban memang dilibatkan dalam hal pemulihan, terutama dalam proses diversi dan restorative, tetapi hak-haknya tidak dijamin secara sistematis dan konrket seperti hak untuk restitusi, pendampingan hukum dan psikologis, atau rehabilitasi fisik dan psikis akibat kejahatan. Apabila merujuk pada Pasal 1 angka 6 UU SPP, disebutkan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait untuk mencapai keadilan melalui pemulihan, bukan pembalasan. Artinya, pemulihan korban secara prinsip ada dalam semangat undang-undang ini, tetapi lebih bersifat prosesual, bukan sebagai hak konkret yang wajib diberikan. Korban hanya mendapatkan ruang partisipasi dalam forum dialog restoratif, tetapi tidak dijamin bentuk pemulihan secara hukum yang mengikat.

Lebih dari itu, persoalan fasilitas yang belum memadai juga turut andil dalam menyebabkan ketidakefektivan dalam sistem hukum ini, sehingga berimplikasi pada adanya ketidakadilan terhadap hak korban. Telah disebutkan sebelumnya pada Pasal 1 angka 6 UU SPPA, bahwa korban turut mendapatkan hak pemulihan melalui mekanisme restoratif. Namun, mekanisme dan fasilitas dalam proses rehabilitatif sebagai bentuk pemulihan belum juga memadai yang adanya beberapa faktor yang tidak mendukung, sehingga tujuan sistem ini yang sedari awal akan menjadi sia-sia dan berimplikasi pada tidak efektifnya serta menimbulkan ketidakadilan dalam memenuhi hak-hak korban.

UU SPPA, khususnya terhadap anak usia di bawah 12 tahun, sangat berorientasi pada tujuan kemanfaatan hukum dalam arti mencegah dampak jangka panjang dari kriminalisasi anak. Kebijakan ini dapat dinilai progresif karena bertujuan mencegah stigmatisasi sosial dan mengarahkan anak pada pembinaan, bukan penghukuman. Sejalan dengan teori hukum utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham, hukum harus membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, dan dalam hal ini, perlindungan terhadap perkembangan psikologis anak pelaku menjadi sangat penting.

Namun demikian, kemanfaatan tidak boleh hanya dilihat dari sudut pelaku semata. Undang-undang ini justru kehilangan daya gunanya ketika kemanfaatan hukum tidak tercapai secara menyeluruh, terutama bagi korban. Tanpa jaminan rehabilitasi yang memadai dan keadilan untuk korban, maka akan berpotensi menjadi sistem hukum yang tidak menciptakan efek jera, baik bagi pelaku maupun lingkungan sosialnya. Selain itu, potensi residivisme juga tidak dapat diabaikan jika anak yang melakukan tindak pidana berat tidak diberikan intervensi hukum yang cukup tegas dan terstruktur. Studi dari Wahyu Dwi Lestari (2019) menunjukkan bahwa anak-anak yang melakukan kekerasan atau pelecehan pada usia sangat dini memiliki risiko tinggi untuk mengulang perilaku serupa di masa remaja atau dewasa, jika tidak ditangani dengan sistem intervensi yang komprehensif dan program rehabilitasi yang memadai.

Dengan demikian, ketika diukur melalui tiga tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, UU SPPA masih menghadapi ketidakseimbangan implementatif. Keadilan sering kali tidak dirasakan oleh korban, kepastian hukum menjadi kaku, dan kemanfaatan hukum terfragmentasi. Untuk itu, diperlukan reformulasi terhadap aspek-aspek krusial dalam UU SPPA, termasuk batas usia, mekanisme intervensi non-penal, serta penguatan sistem rehabilitasi dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, hukum benar-benar menjadi alat perlindungan yang utuh, adaptif, dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Referensi Penulis

Saputra, A. (20 Maret 2023). Kejahatan Anak Meningkat: Pencurian Tertinggi, Disusul Kasus Narkoba. Detiknews. https://news.detik.com/berita/d-6627993/kejahatan-anak-meningkat-pencurian-tertinggi-disusul-kasus-narkoba.

Jati, R. P. (09 Juni 2025). Anak Usia Delapan Tahun di Bekasi Diduga Cabuli Teman Sepermainannya. Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/anak-usia-delapan-tahun-di-bekasi-diduga-cabuli-teman-sepermainannya.

Yahya, A. N. dan Muhammad. (09 Juni 2025). Bocah 8 Tahun di Bekasi Dilaporkan Lecehkan 9 Anak yang Berusia Lebih Muda. Kompas.com. https://megapolitan.kompas.com/read/2025/06/09/21435111/bocah-8-tahun-di-bekasi-dilaporkan-lecehkan-9-anak-yang-berusia-lebih.

Irwansyah. (2022). Pengantar Ilmu Hukum. Mirra Buana Media.

Aryani, Levy F, Putri, Kharunnisa. (2024). Efektivitas Upaya Diversi dalam Penyelesaian Perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Jurnal Pro Justitia, 5(2), 6-8.

United Nations. (1989). Convention on the Rights of the Child. Treaty Series, 1577, 40. https://www.unicef.org/indonesia/id/konvensi-hak-anak-versi-anak-anak.

Maharani, Kayla. Efektivitas Hukum Pidana Anak: Tercapainya Diversi, Terabaikannya Hak Asasi. LK2 FHUI. https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/efektivitas-hukum-pidana-anak-tercapainya-diversi-terabaikannya-hak-asasi/.

United Nations. (1985). United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules). Adopted by General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985. https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/united-nations-standard-minimum-rules-administration-juvenile.

Fauzan Sugama, dkk. (3 Oktober 2024). Efektivitas Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak di Indonesia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Multidisiplin, 1(3), 312 – 313.

Lestari, Wahyu. (2019). Konstuksi Sosial Penyebab Tindak Pidana Ulang Anak (Studi Kasus pada Residivis Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung). (Tesis Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia).

Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Indonesia. (2015). Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 178.

Indonesia. (2012). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153.

Redaksi Literasi Hukum. (2024). Teori Kemanfaatan Hukum Jeremy Bentham: Hukum untuk Kebahagiaan dan Keadilan. Literasi Hukum Indonesia. https://literasihukum.com/teori-kemanfaatan-hukum-jeremy-bentham-hukum-untuk-kebahagiaan-dan-keadilan/.

Admin. (2021). Manifestasi Teori Tujuan Hukum Gustav Radbruch dan Mashab Positivisme di Indonesia. Advokat Konstitusi. https://advokatkonstitusi.com/manifestasi-teori-tujuan-hukum-gustav-radbruch-dan-mashab-positivisme-di-indonesia/.

Penulis

Andi Nur Muthahhirin AZ – LP2KI XVIII

Share the Post:

Related Posts