Kontroversi Legislasi Kilat RKUHAP: Dimana Transparansi?

Kontekstualitas

Proses legislasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus memperhatikan prinsip partisipasi rakyat yang berdasar pada asas keterbukaan sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang. Penerapan prinsip ini ditujukan agar peraturan yang dibuat tidak hanya mengandung daya laku, tetapi juga daya guna.

Namun, penerapan prinsip ini tidak dilakukan saat pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Proses pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHAP menuai kritik dari masyarakat karena rampung dibahas dalam waktu dua hari saja. Proses ini harusnya dilakukan secara detail dan intensif mengingat RKUHAP nantinya menjadi pedoman pelaksanaan hukum pidana materil.

Jika proses perumusan ini dilakukan secara terburu-buru, lantas bagaimana DPR akan mempertimbangkan saran dan masukan dari masyarakat? Apakah mengejar waktu lebih penting daripada menghasilkan peraturan yang baik?

Latar Belakang

Pada tanggal 8 Juli 2025, Komisi III DPR RI mengadakan rapat kerja bersama Kementerian Hukum dan Kementerian Sekretariat Negara untuk membahas RKUHAP. Dalam rapat ini, Wakil Menteri Hukum, Edward OS Hiariej, menyerahkan DIM RKUHAP kepada Komisi III secara resmi. Penyerahan ini menjadi awal mula pembahasan RKUHAP oleh DPR RI. Wakil menteri hukum menjelaskan bahwa pembentukan KUHAP baru diharapkan dapat melingkupi penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika dan perkembangan hukum saat ini. Lebih lanjut dijelaskan oleh wakil menteri hukum bahwa perubahan KUHAP juga diperlukan mengingat KUHP baru akan segera berlaku mulai 2 Januari 2026.

Pada tanggal 10 Juli 2025, Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR RI akhirnya selesai membahas DIM RKUHAP. Pembahasan DIM yang berisi 1.676 poin usulan materi KUHAP diketahui selesai dalam waktu dua hari saja. Dengan selesainya pembahasan DIM, Komisi III DPR RI sepakat untuk membentuk Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) untuk RKUHAP. Tim ini nantinya akan menyelaraskan dan merumuskan draf RKUHAP berdasarkan hasil pembahasan tingkat Panja.

Opini

Undang-undang sejatinya dibuat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebagai negara hukum, Indonesia menuntut setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga bermakna secara substantif. Prinsip ini tertuang jelas dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengamanatkan asas keterbukaan melalui pelibatan partisipasi masyarakat.

Sayangnya, proses pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) oleh DPR RI pada 9–10 Juli 2025 justru mencoreng prinsip keterbukaan tersebut. Bagaimana mungkin sebuah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan 1.676 poin usulan dapat dirampungkan dalam dua hari saja? Kecepatan ini, yang oleh publik dijuluki sebagai “legislasi kilat”, menimbulkan kecurigaan bahwa prosesnya lebih mementingkan kejar target ketimbang kualitas substansi.

Wakil Menteri Hukum menyatakan bahwa pembaruan KUHAP diperlukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum, teknologi, dan berlakunya KUHP baru mulai 2 Januari 2026. Argumen ini memang dapat diterima sebagai kebutuhan hukum. Namun, kebutuhan tersebut tidak boleh menjadi dalih untuk mengorbankan asas keterbukaan. Justru karena KUHAP menyentuh hak-hak dasar warga negara dalam proses peradilan pidana, maka penyusunannya seharusnya dilakukan secara lebih hati-hati dan inklusif.

Kritik tajam datang dari berbagai pihak. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pembahasan ini ugal-ugalan dan melanggar prinsip negara hukum. Koalisi Masyarakat Sipil dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia juga mendesak dibukanya ruang dialog yang luas terhadap pasal-pasal yang kontroversial. Kritik ini bukan tanpa dasar, karena Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 secara tegas mewajibkan pembentuk undang-undang untuk memberikan akses kepada masyarakat guna menyampaikan masukan secara bermakna.

DPR sendiri melalui Habiburokhman menegaskan bahwa tahapan pembahasan sudah sesuai mekanisme dan terbuka, bahkan menyatakan bahwa hanya sekitar 20% DIM yang diubah sehingga memungkinkan pembahasan cepat. Jika dibandingkan dengan pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja, pembahasan DIM Cipta Kerja dibahas secara detail dan intensif selama tiga kali masa sidang DPR. Pembahasan DIM secara detail diperlukan untuk melihat kelemahan dari pasal-pasal yang disusun dalam draf RUU.

Kita tidak boleh lupa bahwa keterbukaan bukan hanya soal publikasi dokumen di situs resmi, tetapi juga soal menyediakan waktu dan ruang yang cukup untuk masyarakat memahami, memberi masukan, dan berdebat secara substantif. Proses legislasi kilat RKUHAP justru berisiko melahirkan undang-undang yang cacat secara sosial, karena masyarakat yang menjadi subjek hukum tidak merasa dilibatkan. Jangan sampai kita mengulangi legislasi tanpa keterbukaan yang dilakukan saat masa pembaruan Undang-Undang TNI. Dapat dilihat bahwa proses pembaharuan Undang-Undang TNI dilakukan secara tertutup dan dalam proses yang lumayan singkat yaitu sekitar dua bulan saja. Meskipun telah mendapat penolakan dari masyarakat, pada akhirnya undang-undang ini tetap disahkan. Pasal kontroversial yang lahir dalam Undang-Undang TNI menjadi contoh terhadap dampak kurangnya keterbukaan dan partisipasi masyarakat.

Undang-undang yang disusun  secara terburu-buru dan minim partisipasi akan kehilangan daya guna. Ia mungkin memiliki daya laku, tetapi tanpa legitimasi sosial, keberlakuannya dapat menghadapi resistensi. Padahal, sebagai pedoman pelaksanaan hukum acara pidana, KUHAP yang baru seharusnya menjamin keadilan, kepastian, dan perlindungan hak asasi manusia.

Legislasi bukanlah lomba lari jarak pendek. Mungkin benar bahwa KUHAP perlu segera disahkan agar selaras dengan KUHP baru, tetapi bukankah lebih penting menghasilkan peraturan yang baik daripada sekadar cepat? Waktu yang “dihemat” dengan mengorbankan keterbukaan pada akhirnya akan terbayar mahal ketika undang-undang itu digugat, diprotes, atau bahkan tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Maka, DPR dan pemerintah perlu menyadari bahwa transparansi bukan sekadar syarat formal, melainkan ruh dari demokrasi itu sendiri. Proses legislasi yang terbuka bukan hanya menghasilkan undang-undang yang lebih baik, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga negara.

Kalau memang benar bahwa pembahasan ini hanya mengubah 20% DIM, maka waktu lebih panjang untuk mendengar aspirasi masyarakat seharusnya bukan beban, tetapi kesempatan untuk memperbaiki. Sebaliknya, jika pembahasan cepat hanya demi memenuhi target waktu, maka kualitas dan legitimasi undang-undang itu patut dipertanyakan. Partisipasi publik bukan  formalitas yang bisa dicentang di daftar persyaratan. Partisipasi publik adalah hak masyarakat sekaligus kewajiban pembuat undang-undang. Sudah saatnya DPR menghentikan praktik legislasi kilat yang abai terhadap suara rakyat.

Referensi

hukumonline.com. “Dianggap Minim Partisipasi Bermakna Dan Potensi Langgar HAM, Koalisi Minta RUU KUHAP Dihentikan,” 15 Juli, 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/dianggap-minim-partisipasi-bermakna-dan-potensi-langgar-ham–koalisi-minta-ruu-kuhap-dihentikan-lt687649e1f0eac/.

indonesiabaik.id. “Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja Hingga Menjadi UU” 2021. https://indonesiabaik.id/infografis/perjalanan-omnibus-law-cipta-kerja-hingga-menjadi-uu.

Irfani, Faisal . “RUU KUHAP – Lima Pasal Menjadi Sorotan, Ribuan DIM Selesai Dibahas Dua Hari – BBC News Indonesia.” BBC News Indonesia, 15 Juli, 2025. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cvgeze4lpq5o.

Kemenkum.go.id. “Pemerintah Serahkan DIM RUU KUHAP Kepada DPR,” 9 Juli, 2025. https://kalsel.kemenkum.go.id/berita-utama/pemerintah-serahkan-dim-ruu-kuhap-kepada-dpr.

Rahmatsyah. “Pentingnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja Kluster Ketenagakerjaan.” EKOMA : Jurnal Ekonomi, Manajemen, Akuntasi 3, no. 5 (1 Juli, 2024): 2817–25.

Siagian, Oyuk Ivani, and Ahmad Faiz. “Pembahasan RUU KUHAP Dimulai, DPR Jamin DIM Bisa Diakses Publik.” Tempo, 8 Juli, 2025. https://www.tempo.co/hukum/pembahasan-ruu-kuhap-dimulai-dpr-jamin-dim-bisa-diakses-publik-1935457.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Yusrial, M. Rizki , and Linda Trianita. “Deretan Kritik KPK Terhadap RUU KUHAP : Dari Penyadapan Hingga Pencegahan Ke Luar Negeri.” Tempo, 16 Juli, 2025. https://www.tempo.co/hukum/deretan-kritik-kpk-terhadap-ruu-kuhap-dari-penyadapan-hingga-pencegahan-ke-luar-negeri-2015487.

Penulis

Andi Besse Alfiyah – LP2KI XVI

La Ode Muhammad Zikril Hafiz – LP2KI XVII

Share the Post:

Related Posts