PROBLEMATIKA TRANSPARANSI DAN EFEKTIVITAS LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF NASIONAL (LMKN) DALAM PENGELOLAAN ROYALTI HAK CIPTA MUSIK DAN LAGU DI INDONESIA

Baru-baru ini, diskursus publik kembali diramaikan oleh kritik terhadap kinerja Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam pengelolaan royalti hak cipta musik dan lagu di Indonesia. LMKN, berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, memiliki tugas utama menghimpun, menetapkan tarif, dan mendistribusikan royalti kepada para pemilik hak cipta dan hak terkait.  Dasar hukum utama LMKN tercantum dalam beberapa pasal, antara lain Pasal 87 yang mengatur bahwa penggunaan ciptaan musik wajib melalui LMKN, serta Pasal 88 yang menegaskan kewajiban LMKN dalam penarikan dan distribusi royalti. Selain itu, Pasal 90 mewajibkan LMKN untuk menyampaikan laporan tahunan guna menjamin transparansi dan akuntabilitas publik. Dengan kedudukan sebagai badan hukum nirlaba, LMKN memiliki peran strategis dalam menjembatani kepentingan antara pencipta/pemilik hak dengan pengguna karya cipta. Tujuan utamanya adalah memastikan para pencipta mendapatkan hak ekonominya secara adil, serta menciptakan ekosistem musik yang sehat, transparan, dan berkelanjutan di Indonesia.

Namun, implementasinya menuai sorotan publik karena dinilai sarat ketidakefektifan dan minim transparansi, terutama dalam mekanisme penarikan dan pembagian royalti.  Penghimpunan royalti di sektor musik memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan karya cipta lain seperti buku atau film. Tidak seperti buku yang dapat dibeli dalam bentuk fisik dan digunakan seumur hidup, musik kerap diputar di berbagai tempat, mulai dari radio, kafe, pusat perbelanjaan, hingga transportasi publik. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan terhadap hak cipta menjadi jauh lebih kompleks.  Selain itu, dasar perhitungan tarif royalti yang diberlakukan LMKN sering kali dianggap tidak jelas, yang membuat masyarakat “dihantui” membayar royalti tiap memutar musik. Distribusi royalti kepada pihak-pihak yang berhak juga menuai polemik. Dari perspektif hukum perdata, LMKN sebagai badan hukum memiliki hubungan keperdataan yang erat dengan para pemilik hak cipta dan pengguna karya musik. Kewajiban LMKN untuk melaksanakan pengelolaan royalti secara akuntabel, transparan, dan tepat sasaran merupakan bagian dari pelaksanaan mandat kontraktual dan statuter yang melekat. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut dapat membuka peluang gugatan hukum, baik atas dasar wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.

Salah satu persoalan utama terletak pada penetapan tarif royalti yang dianggap tidak jelas dan sering kali menimbulkan beban berlebihan, khususnya bagi pelaku usaha berskala kecil. Banyak di antara mereka yang merasa takut untuk melakukan kewajiban membayar royalti setiap kali memutar musik, tanpa memahami secara pasti dasar perhitungan yang digunakan oleh LMKN. Situasi ini diperparah dengan mekanisme penghimpunan yang tidak diimbangi oleh sistem informasi terbuka, sehingga masyarakat pengguna karya merasa kehilangan kepastian hukum. Selain persoalan tarif, distribusi royalti juga menjadi isu yang menimbulkan polemik besar. Tidak sedikit pencipta musik yang mengeluhkan bahwa jumlah royalti yang mereka terima tidak sebanding dengan tingkat pemanfaatan karya mereka di lapangan.

Minimnya akses terhadap data pemutaran musik dan ketiadaan penjelasan yang rinci mengenai alokasi pembagian menimbulkan ketidakpercayaan terhadap integritas lembaga ini. Padahal, sebagai pemegang mandat negara sekaligus institusi yang mengelola kepercayaan publik, LMKN wajib melaksanakan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Kegagalan dalam memberikan laporan yang jelas dan dapat diakses tidak hanya mencederai kepercayaan para pencipta, tetapi juga berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum berupa gugatan wanprestasi maupun tuduhan perbuatan melawan hukum. Terdapat contoh kasus yang terkait dengan permasalahan tersebut seperti sengketa antara Ahmad Dhani yang terkait dengan Pasal 9 Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) dan Once terkait dengan Pasal 23 ayat (5) UUHC. Permasalahan utama adalah mengenai siapa yang berkewajiban membayar royalti, apakah penyanyi atau event organizer. Di kasus lain yaitu dalam kasus Ari Bias, ia sempat memenangkan gugatan di Pengadilan Niaga, akan tetapi dalam tingkat kasasi tuntutannya tidak diterima, sehingga memunculkan perdebatan hukum. Polemik publik kemudian berkembang pada praktik pemungutan royalti di kafe dan restoran.

 Hal ini diperkuat dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Musik dan/atau Lagu yang menegaskan bahwa kewajiban pembayaran royalti bagi pihak yang memanfaatkan atau menggunakan lagu untuk kepentingan komersial. Dalam konteks ini, terdapat uji materi terhadap beberapa pasal UUHC  yaitu Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), serta Pasal 113 ayat (2). Perdebatan yang muncul berkaitan dengan sistem lisensi, yaitu apakah menggunakan skema blanket licence atau direct licence.  Adapun mekanisme pengelolaan royalti hak cipta musik di Indonesia menggunakan  sistem one gate system melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Berdasarkan Pasal 88 ayat (2) huruf b UUHC, pencipta dan pemilik hak terkait memberikan kuasa kepada LMKN untuk mengumpulkan royalti. Selanjutnya, LMKN bertugas menarik, menghimpun, serta mendistribusikan royalti dari para pengguna komersial sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5), Pasal 87, dan Pasal 89 ayat (2) UUHC. Pengguna yang wajib membayar royalti mencakup stasiun radio, televisi, restoran, klub, hotel, kafe, penyelenggara konser, hingga penyedia live music.

Setelah pembayaran dilakukan, pengguna memperoleh kepastian dan perlindungan hukum sesuai Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 87 ayat (2), (3), dan (4). Royalti yang terkumpul kemudian didistribusikan oleh LMKN kepada para pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) UUHC. Dengan demikian, sistem satu pintu yang dijalankan LMKN tidak hanya menjamin hak pencipta dan pemilik hak terkait untuk memperoleh royalti, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi pengguna karya musik agar terhindar dari sengketa hukum akibat pelanggaran hak cipta. Adapun tarif royalti musik yang ditetapkan oleh LMKN berdasarkan Permenkumham Nomor 9 Tahun 2022 Pasal 5 huruf e dan f serta Keputusan LMKN (Lampiran Permenkumham Pasal 4, 5, dan 6). Aturan ini menjadi pedoman bagi berbagai kategori usaha yang menggunakan musik dalam kegiatan komersial. Besaran tarif royalti dihitung dengan dasar perhitungan tertentu. Untuk restoran dan kafe, tarif didasarkan pada jumlah kursi dan kelas kota dengan kisaran Rp. 60.000 – Rp. 200.000 per kursi per tahun. Pada hotel, tarif dihitung per kamar sebesar Rp. 120.000 – Rp. 180.000 per kamar per tahun. Sementara itu, untuk karaoke dihitung berdasarkan jumlah ruang karaoke dengan tarif Rp. 12.000.000 – Rp. 15.000.000 per ruang per tahun. Transportasi publik juga dikenakan royalti per unit armada dengan besaran Rp. 1.200.000 – Rp. 2.000.000 per unit per tahun. Selain itu, platform digital atau layanan streaming diwajibkan membayar royalti dalam bentuk persentase dari pendapatan kotor, yaitu antara 1% hingga 3% dari gross revenue.

Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut, diperlukan reformasi tata kelola yang lebih menyeluruh. Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah melakukan digitalisasi sistem pengelolaan royalti melalui teknologi berbasis data besar atau bahkan blockchain, sehingga setiap pemutaran lagu di berbagai media dapat tercatat secara real-time. Dengan adanya sistem digital ini, para pencipta dapat langsung memantau perhitungan royalti melalui sebuah portal terbuka yang tersedia bagi publik. Hal ini akan mengurangi kecurigaan dan meningkatkan rasa keadilan dalam proses distribusi. Selain itu, penetapan tarif juga harus dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan skala usaha pengguna karya musik. Pelaku usaha kecil tidak boleh diperlakukan sama dengan korporasi besar, sehingga keadilan distributif dapat terwujud. Model penetapan tarif yang partisipatif dengan melibatkan pencipta, asosiasi industri, akademisi, dan pemerintah akan mendorong legitimasi lebih besar terhadap keputusan yang dibuat LMKN.

Mekanisme distribusi royalti pun perlu direformasi dengan menggunakan algoritma yang berbasis pada data aktual pemutaran karya, bukan sekadar estimasi atau laporan manual. Untuk menjamin integritasnya, audit independen wajib dilakukan setiap tahun, dan hasilnya diumumkan kepada publik agar seluruh pemangku kepentingan dapat mengevaluasi kinerja LMKN secara objektif. Dari sisi kelembagaan, pengawasan yang efektif dapat dilakukan melalui pembentukan dewan pengawas independen yang terdiri dari unsur pencipta, pengguna, akademisi, dan pemerintah. Dewan ini dapat berfungsi sebagai mekanisme check and balance untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan. Lebih jauh, upaya perbaikan LMKN juga harus disertai dengan pendidikan publik mengenai pentingnya royalti. Sosialisasi yang masif akan membuat masyarakat memahami bahwa royalti bukanlah beban, melainkan bentuk penghargaan yang layak diterima oleh para pencipta musik. Integrasi literasi hak cipta dalam dunia pendidikan, khususnya di bidang seni dan hukum, akan menumbuhkan kesadaran sejak dini bahwa karya intelektual memiliki nilai ekonomi dan wajib dihormati.

Dengan demikian, problematika transparansi dan efektivitas LMKN tidak hanya dapat dilihat sebagai kelemahan teknis semata, tetapi juga sebagai cerminan dari perlunya pembenahan tata kelola kelembagaan. Reformasi berbasis teknologi, kebijakan tarif yang berkeadilan, mekanisme distribusi yang transparan, serta penguatan akuntabilitas hukum merupakan jalan keluar yang harus segera diambil. Hanya dengan cara demikian, LMKN dapat menjalankan mandatnya secara optimal dan mewujudkan ekosistem musik yang lebih adil, transparan, serta mendukung keberlanjutan kreativitas di Indonesia.

Referensi

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. 2021. Panduan Penggunaan Hak Cipta dan Hak Terkait. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI.

Febriansyah, Yudi. 2022. “Transparansi dan Akuntabilitas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional dalam Pengelolaan Royalti Musik di Indonesia.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 29 (1): 45–62. https://doi.org/10.20885/iustum.vol29.iss1.art3.

Fitriani, Rani. 2020. “Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dalam Perspektif Hukum Hak Kekayaan Intelektual.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 14 (2): 287–304.

Indonesia. 2014. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266.

Indonesia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2022 tentang Tarif Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI, 2022.

Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia, 2014.

Simanjuntak, Martua. 2021. “Problematika Distribusi Royalti Musik di Era Digital.” Jurnal Hukum dan Pembangunan 51 (3): 523–540.

Penulis

Kemas Hidayat – LP2KI XVIII

Share the Post:

Related Posts