Dalam sistem hukum demokrasi, putusan-putusan yang diambil oleh lembaga-lembaga hukum, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), memainkan peran penting dalam menjamin kestabilan dan keamanan politik. Dalam beberapa kasus, seperti dalam proses hukum yang terkait dengan Pemilihan Presiden (Pilpres), putusan MK dapat memiliki implikasi yang signifikan terhadap masa depan demokrasi di suatu negara. Salah satu contoh yang relevan adalah kasus PHPU Pilpres 2024.
Pada 22 April 2024, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggelar sidang pembacaan putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. Pembacaan putusan ini menindaklanjuti permohonan sengketa pilpres yang diajukan Capres dan Cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, serta Capres-Cawapres nomor urut 03 Ganjar PranowoMahfud MD ke Mahkamah Konstitusi. Pada Sidang putusan sengketa hasil pemilihan Presiden yang digelar di gedung MK jl. Medan Merdeka Barat ini, MK memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan Capres-Cawapres Nomor urut 01 serta Capres-cawapres Nomor Urut 03.
Adapun beberapa isu yang menarik dalam Pilpres 2024 ini. Pertama, keterlibatan pejabat negara dalam kampanye pemilu. Keterlibatan pejabat negara dalam kampanye pemilu telah menjadi perdebatan yang panjang dan kompleks. Sementara beberapa ahli berpendapat bahwa pejabat negara memiliki hak politik dan boleh ikut kampanye, lainnya menekankan bahwa kewenangan jabatan yang melekat dapat disalahgunakan dan harus dipisahkan dengan tubuh biologis.
Pernyataan Presiden yang membolehkan presiden, menteri, dan pejabat lain untuk berkampanye telah menimbulkan kontroversi. Pasal 299 (1) UU Pemilu menegaskan bahwa Presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye, tetapi ada ketentuan yang multitafsir dalam pasal ini. Beberapa ahli berpendapat bahwa pasal ini hanya berlaku bagi presiden dan wakil yang maju kembali sebagai calon, sedangkan KPU memperbolehkan presiden berkampanye dengan syarat mengambil cuti. Perlunya ada limitasi keterlibatan pejabat negara dalam kampanye. Limitasi ini harus dipenuhi dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Pejabat negara harus menjalani cuti di luar tanggungan negara dan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, adanya dissenting opinion. Sejarah terjadi pada sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024, untuk pertama kalinya majelis hakim tidak bulat dalam memutus dugaan kecurangan pemilu. Dari 8 hakim yang memutus sengketa ini, 5 hakim setuju menolak permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sedangkan 3 lainnya menyatakan tidak setuju atas penolakan itu.Tiga hakim tersebut yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih. Menurut Saldi Isra ada dua hal sehingga mengajukan pendapat berbeda yaitu mengenai penyaluran dana bantuan sosial yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presdien dan persoalan keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di sejumlah daerah. Menurut Arief Hidayat, alasan mengajukan pendapat berbeda karena keterlibatan kekuasaan presiden dengan infrastruktur politik yang berada di bawahnya untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Sementara menurut Enny Nurbaningsih, alasan mengajukan pendapat berbeda karena terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos pada beberapa daerah. Secara keilmuan maupun praktek dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pendapat diantara anggota majelis hakim yang seharusnya memutus dengan musyawarah bersama
Ketiga, kewenangan MK dalam menangani sengketa Pemilu berdasarkan komentar Saldi Isra yang mengatakan bahwa “MK sebagai keranjang sampah”. Dalam melaksanakan kewenangan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK tidak hanya sebatas mengadili angka-angka atau hasil rekapitulasi penghitungan suara, namun juga dapat menilai hal lain yang terkait dengan tahapan pemilu, berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu. Seharusnya merupakan tugas dan tanggung jawab Bawaslu serta Gakkumdu yang seharusnya melaksanakan kewenangannya secara optimal, demi menghasilkan pemilu yang jujur dan adil, serta berintegritas.
Referensi Penulis
Jurdi, F. “Sengkarut Jabatan dalam Kampanye.” Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/02/01/sengkarut-jabatan-dalam-kampanye
Prastiwi. “4 Penjelasan Hakim MK Saldi Isra Sebelum Bacakan Hasil Sidang Sengketa Pilpres 2024.” Liputan6.com. https://www.liputan6.com/news/read/5578720/4-penjelasan-hakim-mk-saldi-isra-sebelumbacakan-hasil-sidang-sengketa-pilpres-2024?page=4
Andryanto, S. D. “Alasan 3 Hakim Konstitusi Ajukan Dissenting Opinion dalam Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024.” Tempo.co. https://nasional.tempo.co/read/1859834/alasan-3-hakim-konstitusi-ajukan-dissenting-opiniondalam-putusan-mk-soal-sengketa-pilpres-2024
Mantalean, V. & Dani Prabowo. “Dissenting Opinion: Pertama dalam Sejarah Sengketa Pilpres, Hampir Bikin Pemilu Ulang.” Nasional.kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2024/04/23/07555211/dissenting-opinion-pertama-dalamsejarah-sengketa-pilpres-hampir-bikin?page=all
Penulis
Mustika Syaharuddin
LP2KI XVII