Polemik yang terjadi atas penyerangan terhadap warga sipil di Deli Serdang mencerminkan masalah serius dalam sistem peradilan militer di Indonesia. Beberapa kalangan masyarakat mengecam keras tindakan arogan dan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Insiden penyerangan yang terjadi pada Jumat, 8 November 2024 melibatkan 33 anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Yonarmed 2/Kilap Sumagan hingga mengakibatkan bentrok dengan warga sipil. Peristiwa ini dipicu oleh teguran anggota TNI terhadap geng motor yang dinilai meresahkan masyarakat, kemudian berujung pada adu mulut dan perkelahian massal. Akibatnya, satu warga tewas dan beberapa lainnya terluka. Tindakan ini melanggar Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di mana aparat negara tersebut terbukti melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia berupa terenggutnya hak hidup, kebebasan pribadi, rasa aman,dan hak atas keadilan bagi korban. Kondisi ini tentu bertentangan dengan prinsip profesionalisme yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kasus yang terjadi di Deli Serdang dapat dikategorikan sebagai pembunuhan di luar hukum (Extrajudicial Killing). Penyerangan dari 33 aparat negara menunjukkan adanya kekerasan yang tidak dapat dibenarkan dan tindakan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keadilan dan akuntabilitas dalam penegakan hukum. Insiden ini kemudian menyoroti kelemahan dalam mekanisme pengawasan internal dan sistem peradilan militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Mekanisme dari peradilan militer cenderung membebaskan pelaku atau memberikan sanksi ringan, yang berpotensi menciptakan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat. Contoh kasus serupa terjadi pada April 2024 silam di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Penyerangan Mapolres oleh ratusan orang diduga anggota TNI hingga menyebabkan kerusakan dan seorang polisi terluka. Insiden ini bermula dari pengeroyokan dua anggota TNI, tetapi akhirnya diselesaikan secara damai antara Polri dan TNI.
Dalam Pasal 65 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 mengatur kewenangan peradilan bagi prajurit TNI. Prajurit TNI tunduk pada peradilan militer untuk pelanggaran hukum pidana militer dan peradilan umum untuk pelanggaran pidana umum. Jika peradilan umum tidak berfungsi, prajurit akan tunduk pada peradilan lain yang diatur oleh undang-undang. Lebih lanjut Pasal 74 menyatakan bahwa ketentuan peradilan militer dalam undang-undang ini berlaku setelah undang-undang peradilan militer yang baru diterapkan, dan jika belum ada, tetap mengacu pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1997.
Ketimpangan dalam undang-undang tersebut selanjutnya menimbulkan impunitas karena Pasal 65 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tidak dapat direalisasikan sebelum adanya perubahan terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1997. Dengan demikian, negara gagal dalam melaksanakan kewajiban untuk menghukum, sehingga pelaku kejahatan khususnya dalam aspek HAM tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Adapun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menilai peradilan militer justru menjadi benteng yang melindungi TNI dan tidak menjawab rasa keadilan korban. Menurut mereka, rumusan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dianggap mendukung impunitas militer dan rezim Soeharto karena undang-undang ini dibuat pada akhir masa pemerintahan orde baru.
Negara memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) masyarakatnya sesuai yang diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemulihan korban harus menjadi prioritas, termasuk memberikan kompensasi dan dukungan psikologis bagi mereka yang mengalami trauma akibat tindakan kekerasan. Ironisnya, terdapat kegagalan penegakan hukum terhadap pelaku dalam kasus ini yang menunjukkan ketidakpatuhan terhadap kewajiban negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Indonesia turut serta dalam penerapan konsep Reformasi sektor keamanan disingkat RSK (Security Sector Reform/SSR) yang sedang aktif diterapkan di berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang bertransisi dari konflik atau sistem politik otoriter. Namun, konsep ini belum sepenuhnya berhasil karena berbagai faktor, termasuk kurangnya upaya dari pemerintah memperbaiki kebijakan yang ada. Salah satu implementasi politik hukum di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hingga saat ini, pemerintah tidak menunjukkan keseriusan terhadap perubahan undang-undang tersebut. Alasan utama dibalik stagnasi ini adalah kekhawatiran terhadap potensi instabilitas politik. Transisi politik era Reformasi di Indonesia ditandai dengan tawar-menawar antara pemerintah dan TNI hingga menciptakan peaceful transition di mana militer mundur dari politik dan mendapatkan otonomi institusional.
Pertimbangan politik dan kepentingan institusi dapat memengaruhi dinamika reformasi hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan realistis untuk melanjutkan Reformasi Sektor Keamanan, khususnya dalam menangani kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan TNI. Reformasi ini penting untuk memastikan bahwa aparat negara, termasuk TNI, bertindak sesuai dengan prinsip hukum dan hak asasi manusia. Kasus-kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan militer menunjukkan adanya celah dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas, yang harus segera diperbaiki agar menciptakan keadilan. Langkah-langkah reformasi ini dapat diimplementasikan melalui pembaruan regulasi, peningkatan transparansi, serta penguatan peran lembaga peradilan dalam memantau dan mengawasi tindakan aparat keamanan guna mencegah pelanggaran serupa di masa depan.
Referensi Penulis:
Angela, D. (2024). REFORMASI TNI: ANALISA KOMANDO TERRITORIAL (KOTER) DALAM HUBUNGAN SIPIL-MILITER. Jurnal Polinter: Kajian Politik dan Hubungan Internasional, 9(2), 87-105.
Ashri, M. (2023). State’s General Obligations regarding the Prevention and Punishment of Crimes Against Humanity: A Review of Draft ILC Articles. Uti Possidetis: Journal of International Law, 4(2), 200-233.
Batubara, N. F. (2024). Kronologi serangan “brutal” TNI terhadap warga desa di Deli Serdang – Bagaimana kesaksian warga?. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cvgwv5l15l8o . 29 November 2024
Purnomo, H. (2024). Human Rights and Military Health: A Review of Violations of International Criminal Law in Armed Conflict. Formosa Journal of Sustainable Research, 3(4), 831-842.
Sinulingga, P. (2024). Keluarga Korban Penyerangan Oknum TNI di Deli Serdang Minta Proses Hukum Dijalankan. Kompas.tv; www.kompas.tv. https://www.kompas.tv/nasional/552894/keluarga-korban-penyerangan-oknum-tni-di-deli-serdang-minta-proses-hukum-dijalankan . 29 November 2024
Yohanes Maharso, & Devy Ernis. (2024). Peradilan Militer Dinilai Lindungi Anggota TNI dari Hukuman, Kapuspen: Sudah Sesuai Aturan. Tempo. https://www.tempo.co/politik/peradilan-militer-dinilai-lindungi-anggota-tni-dari-hukuman-kapuspen-sudah-sesuai-aturan-78781 . 30 November 2024
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Penulis:
A. Nurkhofifah Auliyah A. Paloncongi
LP2KI XVII