PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KASUS KERACUNAN MAKANAN PADA PROGRAM MAKANAN BERGIZI GRATIS

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam upaya mewujudkan pemenuhan hak atas pangan dan gizi yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Gagasan ini dilandasi oleh amanat Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, konsep hak atas pangan sebagai bagian dari hak asasi manusia juga tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 25, yang menjamin setiap orang memiliki standar hidup yang memadai bagi kesehatan dan kesejahteraannya, termasuk hak atas pangan. Oleh karena itu, pemenuhan gizi nasional bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga tanggung jawab konstitusional negara untuk menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.

Pelaksanaan program MBG di Indonesia dikoordinasikan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga yang memiliki tugas memastikan terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat. Program ini menyasar peserta didik dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah, pendidikan kejuruan, pendidikan keagamaan, pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, dan pendidikan pesantren serta kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan anak di bawah lima tahun. Meskipun MBG secara resmi menyasar kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan anak di bawah lima tahun. Pakar Gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada menekankan bahwa pemberian makanan standar melalui MBG tidak selalu efektif untuk meningkatkan status gizi kelompok ini, ia menyebutkan bahwa MBG seharusnya menyumbang minimal sepertiga dari kebutuhan gizi harian, terutama protein sebagai faktor pertumbuhan utama.

Dalam pelaksanaannya, Badan Gizi Nasional (BGN) mengacu pada standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019, serta pedoman gizi seimbang yang tertuang dalam Permenkes Nomor 41 Tahun 2014. Meskipun berlandaskan orientasi kebijakan yang strategis, implementasi program ini mengandung potensi risiko hukum, terutama apabila terjadi kejadian Luar Biasa (KLB) berupa keracunan makanan yang menimbulkan korban jiwa atau luka berat pada penerima manfaat.

Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan sebagai suatu peristiwa yang melibatkan dua orang atau lebih dengan gejala serupa setelah mengonsumsi pangan yang terbukti sebagai sumber keracunan. Apabila kejadian tersebut terjadi akibat kelalaian pihak penyelenggara atau penyedia makanan, maka dapat menimbulkan pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan Pasal 359 KUHP, “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan matinya orang lain, diancam karena kelalaian dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Sementara itu, Pasal 360 KUHP menyatakan, “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan luka berat pada orang lain, diancam karena kelalaian dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.”

Selain ketentuan dalam KUHP, pertanggungjawaban hukum juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 menegaskan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang atau jasa yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan/atau persyaratan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apabila pelaku usaha melanggar ketentuan ini, maka dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62, yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00. Selain sanksi pidana, Pasal 19 juga menyatakan bahwa pelaku usaha wajib memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang dialami konsumen akibat mengonsumsi barang atau jasa yang tidak aman. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam kasus keracunan makanan, tanggung jawab pelaku usaha bersifat strict liability, yakni tanpa harus membuktikan unsur kesalahan.

Selain sanksi pidana, pelaku atau penyelenggara program juga dapat dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019. Sanksi administratif tersebut dapat berupa pencabutan izin usaha, penghentian kegiatan, atau pengenaan denda apabila terbukti lalai dalam menjamin keamanan pangan. Dengan demikian, penyelenggaraan MBG tidak hanya menuntut tanggung jawab moral dan sosial, tetapi juga memerlukan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang ketat untuk memastikan bahwa setiap tahapan produksi, distribusi, dan penyajian makanan terlaksana sesuai dengan prinsip keamanan pangan serta perlindungan kesehatan masyarakat.

Secara umum, kasus keracunan makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara hak asasi manusia dan tanggung jawab kebijakan publik. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan pangan sebagai bagian dari pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat. Sementara itu, pelaku usaha dan penyelenggara program bertanggung jawab secara hukum untuk memastikan bahwa makanan yang diberikan aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, pengawasan bersama antara Badan Gizi Nasional, Kementerian Kesehatan, dan lembaga pengawasan pangan perlu diperkuat melalui penerapan hukum yang menyeluruh. Pendekatan ini tidak hanya menitikberatkan pada aspek penegakan hukum pidana, tetapi juga pada upaya preventif dan edukatif untuk menciptakan sistem pangan nasional yang aman, berkelanjutan, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.

Referensi

Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Indonesia. 1946. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1946 Nomor 9.

Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42.

Indonesia. 2012. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227.

Indonesia. 2019. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 207.

Indonesia. 2019. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 607.

Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 768.

Indonesia. 2024. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Riyanto, O,S., & Sinaga, M.R.E. (2025). Penegakan Hak Anak atas Makanan Aman dan Sehat: Studi Kasus Keracunan Makanan Bergizi Gratis Ditinjau dari Tanggung Jawab Negara. Jurnal Humanity: Jurnal Riset dan Kajian Hukum Hak Asasi Manusia, 4 (1). 1-11.

Umboh. R., (2018). Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Pemenuhan Hak Konsumen Menurut Hukum Positif Indonesia. Lex Privatum, 6 (6). 46-53.

UGM. (2025, Mei 6). Program MBG Dinilai Belum Efektif Cegah Stunting, Diminta Libatkan Ahli Gizi. Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/program-mbg-dinilai-belum-efektif-cegah-stunting-diminta-libatkan-ahli-gizi/.

Penulis

Mei Salwa Asahara Tunisa – LP2KI XVIII

Share the Post:

Related Posts