Amnesti dan Abolisi: Upaya Rekonsiliasi atau Alat Politisasi?

KONTEKSTUALITAS

Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong oleh Presiden Prabowo memang memiliki dasar konstitusional. Namun persoalannya bukan sekadar soal legalitas, melainkan momentum dan substansi dari keputusan tersebut. Pengampunan diberikan justru setelah vonis telah dijatuhkan dan perhatian publik tengah memuncak. Alih-alih menjadi bentuk koreksi atas ketidakadilan atau penyimpangan hukum, langkah ini justru terkesan tergesa-gesa dan lebih mencerminkan keputusan jangka pendek ketimbang pertimbangan hukum yang matang.

Secara normatif, memang tidak ada aturan yang secara tegas melarang Presiden memberi pengampunan dalam kasus seperti korupsi atau obstruction of justice. Namun, alasan yuridis yang komprehensif tak pernah disampaikan secara terbuka kepada publik. Tak ada indikator objektif yang meyakinkan mengapa kedua tokoh tersebut dianggap layak mendapat pengampunan. Apakah karena kekeliruan proses hukum, alasan kemanusiaan, atau justru ambisi politis semata?

LATAR BELAKANG

Perjalanan hukum yang dialami oleh Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bukan sekadar perkara pidana biasa, melainkan menjadi potret betapa kompleksnya realita antara hukum dan kekuasaan. Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan pada era Presiden Jokowi, dijerat kasus kebijakan impor gula tahun 2015 yang disebut menyebabkan potensi kerugian negara sebesar Rp 194 miliar. Meskipun tidak terbukti memperkaya diri sendiri, Tom tetap dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara. Di sisi lain, Hasto Kristiyanto, selaku Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, divonis 3,5 tahun atas perannya dalam perintangan penyidikan kasus Pergantian Antar Waktu (PAW) Harun Masiku. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa kedua perkara tersebut bukan sekadar urusan hukum, tetapi juga sarat kepentingan politik. Tidak mengherankan jika perkara ini menjadi perhatian masyarakat luas, mengingat keterlibatan aktor-aktor politik utama dan kondisi politik nasional yang pada 2024 lalu tengah bergejolak.

Baik Tom Lembong maupun Hasto, keduanya mendapatkan pengampunan konstitusional oleh Presiden Prabowo melalui dua Surat Presiden beserta 1.116 narapidana lainnya yang telah memenuhi syarat pemberian amnesti. Usulan ini disampaikan oleh Presiden Prabowo kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disahkan dalam Rapat Konsultasi pada 31 Juli 2025. Akan tetapi, langkah ini menimbulkan polemik karena melibatkan perkara sensitif, seperti korupsi, yang selama ini dianggap tidak layak untuk diberi pengampunan mengingat salah satu unsur pokoknya adalah merugikan keuangan negara. Secara normatif, mekanisme amnesti dan abolisi memang tidak secara eksplisit mengecualikan jenis tindak pidana tertentu. Jika ditinjau dari perspektif hukum pidana, korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang semestinya tidak layak untuk diberi pengampunan karena dampaknya yang sistemik terhadap negara.

Di saat masyarakat terus didorong untuk percaya pada supremasi hukum, tindakan seperti ini justru memperlebar jarak antara hukum dan keadilan yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan di berbagai pihak, apakah hukum masih menjadi alat untuk melindungi kepentingan rakyat secara adil, atau justru berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan yang hanya berpihak pada segelintir orang?

DASAR HUKUM

Dalam tatanan konstitusi, perihal kewenangan Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), yang menyatakan bahwa “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Kewenangan ini memang bersifat prerogatif, namun perlu dipahami bahwasanya hak tersebut tidak bersifat absolut atau mutlak, sebab masih memerlukan adanya keterlibatan DPR sebagai lembaga legislatif untuk mewujudkan mekanisme checks and balances.

Sayangnya, hingga saat ini, Indonesia masih belum memiliki undang-undang khusus yang secara teknis dan substantif membahas mengenai abolisi dan amnesti. Tidak seperti grasi (yang juga hak prerogatif Presiden) yang telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pemberian amnesti dan abolisi hanya memiliki dasar yuridis berupa Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi (UU Darurat 11/1954), yang kini sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan hukum modern. Kendati demikian, kekosongan akan kepastian hukum dalam regulasi tersebut cukup berpotensi membuka ruang interpretasi yang luas, sehingga pada akhirnya dapat dijadikan celah bagi penguasa kedepannya.

OPINI

Meskipun Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR, negara seolah-olah menggunakan mekanisme konstitusional yang sah secara prosedural, namun cacat dalam substansial. Dapat dikatakan, konstitusi kita saat ini hanya mengatur “bagaimana caranya” tapi tidak mengatur dalam hal apa saja amnesti dan abolisi layak diberikan. Adanya kekosongan hukum sangat jelas terlihat di sini, dimana UU Darurat 11/1954, satu-satunya peraturan yang spesifik mengatur mengenai amnesti dan abolisi namun tidak menjabarkan secara rinci batas jenis kejahatan dan batas pemberian amnesti maupun abolisi.

Ketika kita menilik lebih dalam perihal apakah ada pembatasan pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden, jawabannya adalah tidak. Ketiadaan pembatasan ini secara otomatis membuka ruang diskresi yang cukup luas bagi Presiden dalam menggunakan hak prerogatifnya, bahkan untuk perkara yang tidak memiliki urgensi mendesak seperti korupsi dan perintangan penyidikan. Ketika kewenangan prerogatif ini dijalankan tanpa batas yuridis yang jelas dan objektif, maka batas antara negara hukum dan “negara kekuasaan” menjadi semakin kabur atau sulit dibedakan. Pemerintah memang mengklaim bahwa langkah ini diambil dalam rangka membangun persatuan nasional sekaligus memperingati hari kemerdekaan, namun publik tidak pernah benar-benar mendapat penjelasan mengapa justru dua tokoh ini yang dianggap layak menerima pengampunan.

Dalih menciptakan rasa keadilan sudah terdengar hampa. Pengampuan yang ada justru memperkuat kesan kepada mereka yang punya posisi politik yang strategis. Ketika prosesnya tertutup dan alasan hukumnya tidak begitu jelas, keputusan ini justru menimbulkan keraguan apakah benar-benar dibuat demi hukum dan keadilan, atau semata karena alasan politik. Dalam paham negara hukum, hal seperti ini sangat berbahaya. Jika tidak ada batasan yang tegas dan jelas, bukan tidak mungkin kewenangan Presiden ini akan terus digunakan di kemudian hari untuk hal-hal serupa, bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan demi menjaga kepentingan kekuasaan.  

Namun dalam situasi seperti ini, pemberian pengampunan kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong menjadi sebuah preseden yang konkret dalam memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat menggunakan kekosongan hukum untuk menyesuaikan kebutuhan politik. Kedua tokoh tersebut berada dalam lingkaran kekuasaan, terikat pada kepentingan struktural kekuasaan, dan proses pemberian pengampunan tidak disertai dengan kajian mendalam yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Ketika tidak terdapat aturan yang secara khusus membatasi terkait dengan pemberian amnesti dan abolisi, maka ini akan menjadi alat penyelamatan bagi para pelaku kejahatan yang tidak tersentuh dengan hukum yang adil.

Pemberian pengampunan terhadap kedua tokoh tersebut juga tentunya menciptakan kritik publik yang cukup tajam, tidak hanya karena keduanya merupakan tokoh penting dalam kekuasaan dan kebijakan, tetapi karena keputusan tersebut berkaitan dengan tatanan hukum yang seharusnya menjunjung prinsip akuntabilitas serta transparansi. Sejalan dengan hal ini, kritik yang dilontarkan oleh Zaenur Rohman dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) menyebut bahwa pengampunan ini lebih menyerupai alat kekuasaan elektoral daripada langkah konstitusional yang berakar pada kepentingan bangsa secara keseluruhan.  Kritik ini penting untuk digarisbawahi, karena menunjukkan bahwa jika pengampunan digunakan untuk kepentingan elektoral, maka fungsi korektifnya dalam sistem hukum akan hilang dan berubah menjadi instrumen politik kekuasaan.

Pendapat lain yang dilontarkan oleh Firdaus Muhammad, seorang pengamat politik, melihat langkah ini sebagai bagian dari strategi membangun citra politik jangka pendek sekaligus upaya memperkuat simpati publik terhadap pemerintah. Firdaus juga menilai bahwa dinamika persetujuan di DPR hanyalah fragmen dari drama kekuasaan. Ini menggambarkan bagaimana lembaga legislatif yang seharusnya menjadi penyeimbang justru kehilangan peran substantifnya dan terjebak dalam dinamika kekuasaan. Persetujuan yang seharusnya dijalankan dalam proses deliberatif menjadi hanya sekadar prosedur administratif. Dalam hal ini, terlihat bahwa mekanisme check and balance mengalami degradasi serius ketika kepentingan politik lebih dominan daripada proses hukum yang objektif dan transparan.

Indonesia sebagai negara hukum wajib menempatkan pemberian pengampunan dalam kerangka hukum yang ketat dan akuntabel, misalnya dengan pengawasan efektif dari lembaga perwakilan rakyat. Meskipun kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti atau abolisi dijamin oleh konstitusi, implementasinya pada saat ini telah mencerminkan kepentingan politik jangka pendek yang mengabaikan prinsip keadilan. Sejalan dengan hal ini, Umbu Rauta dan Adi Prayitno menegaskan bahwa tanpa pengawasan rasional dan objektif dari parlemen, pengampunan mudah dipelintir menjadi alat kompromi kekuasaan yang berlindung pada legalitas formal. Ketika praktik pengampunan dijalankan di tengah sistem hukum yang telah kehilangan legitimasi, maka yang terjadi bukan penyelesaian masalah, melainkan penguatan ketidakpercayaan publik terhadap integritas penegakan hukum.

Pengampunan ini lebih terlihat sebagai strategi politik daripada sebagai upaya menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya. Tujuan utamanya seolah bukan lagi memperbaiki kesalahan hukum, melainkan membangun citra dan menarik simpati publik. Proses persetujuan dari DPR pun tampak hanya sebatas formalitas, tanpa pembahasan terbuka atau transparansi yang cukup. Padahal, pengawasan terhadap keputusan Presiden sangat penting agar tidak disalahgunakan. Dalam situasi ini, kewenangan prerogatif Presiden seperti dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek, meski secara prosedural sah, tetapi kehilangan dasar legitimasi yang kuat. Jika tak dibatasi secara yuridis, tindakan ini justru mengaburkan batas antara hukum dan kepentingan kekuasaan.

Alih-alih memperkuat kepercayaan terhadap hukum, citra sebagai pemersatu bangsa yang coba dibangun melalui pengampunan itu justru menjadi bumerang ketika publik melihatnya sebagai strategi pencitraan politik, bukan koreksi atas ketidakadilan hukum.  Dikeluarkannya surat abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo membuatnya dijuluki “pahlawan kesiangan”, karena keputusan tersebut baru muncul setelah Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto divonis. Padahal, sejak awal, perkara keduanya telah memicu pro dan kontra di tengah masyarakat hingga akhirnya putusan pengadilan dijatuhkan. Di tengah sorotan dan suara kritis masyarakat, pengampunan yang diberikan tidak lagi tampak sebagai keputusan yang lahir dari pertimbangan hukum yang matang, melainkan lebih menyerupai upaya meredam kegaduhan publik yang semakin meluas. Tampaknya, Presiden Prabowo tampaknya ingin membangun citra sebagai pemimpin yang mempersatukan bangsa melalui narasi pengampunan. Akan tetapi, yang menjadi ironi adalah ketika pengampunan yang digunakan justru menyasar ke tokoh-tokoh elite bukan mereka yang selama ini terpinggirkan atau dicurangi oleh sistem hukum.

Ketidaktepatan pemberian pengampunan ini juga semakin diperjelas dengan pendapat Suyogi Imam, dalam jurnalnya, yang menyatakan bahwa pengampunan hanya diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan ringan saja, bukan kejahatan luar biasa seperti korupsi. Pengampunan seharusnya hanya dipertimbangkan bagi para tahanan politik yang dipidana lewat sebuah proses peradilan yang tidak adil (unfair trial), mengalami penyiksaan, dan lewat suatu rekayasa politik. Pemberian pengampunan untuk kategori tahanan politik semacam ini semata-mata dilakukan demi pertimbangan pragmatis agar mereka yang dibebaskan bisa dilibatkan dalam proses perdamaian, rekonsiliasi, atau dialog.

Dengan itu, harapan penulis sangatlah sederhana, meskipun pengampunan memang akan diberikan, seharusnya dilakukan dengan tidak terburu-buru, melalui proses yang transparan, dan dengan alasan yang rasional. Sangat disayangkan, hal ini tidak terlihat dalam mengeluarkan abolisi dan amnesti tersebut. Perlu dicermati kembali, ketegasan dalam bertindak tidak diukur dari seberapa cepat sebuah keputusan dibuat, melainkan dari seberapa cermat ia berpikir, khususnya secara etika dan normatif sebab Indonesia adalah negara hukum.

Oleh karenanya, menurut penulis, sangat diperlukan pembaruan UU Darurat 11/1954 guna mencegah dugaan kepentingan politisasi seperti yang terjadi saat ini. Beberapa hal perlu diperhatikan secara serius, salah satunya adalah soal alasan pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden terhadap para narapidana. Suatu alasan atau dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan hukum harus didasarkan pada hukum yang berlaku, bukan berdasarkan pendapat pribadi, moral, politik, atau pertimbangan subjektif lainnya. Proses pengampunan juga harus dibangun secara demokratis dan melibatkan partisipasi publik. Hal itu tidak akan tercapai jika keputusan diambil secara terburu-buru tanpa kajian yang memadai. Amnesti dan abolisi bukan hanya soal sah atau tidaknya secara hukum, tetapi juga menyangkut bagaimana publik menilai keadilan dari keputusan tersebut. Jika prosesnya tertutup dan terkesan dipaksakan, kepercayaan masyarakat terhadap hukum justru bisa runtuh.

Tidak sekadar persoalan alasan pemberian, yang juga perlu dibenahi secara serius adalah batasan terhadap jenis kejahatan yang layak diberi pengampunan dan mana yang seharusnya dikecualikan sama sekali. Tanpa batas yang jelas, pengampunan bisa disalahgunakan untuk melindungi pelaku kejahatan serius yang seharusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Dalam kasus seperti korupsi misalnya, pengampunan justru akan mencederai rasa keadilan publik karena pelakunya bukan hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merusak sistem dari dalam dan memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan pemerintahan. Jika kejahatan luar biasa seperti ini masih diberi ruang pengampunan, maka pesan yang muncul di masyarakat adalah kejahatan bisa dinegosiasikan, asal punya kedekatan dengan kekuasaan. Padahal, keadilan seharusnya berlaku sama bagi siapa pun, tidak pandang jabatan, posisi, atau warna politik.

Daftar Pustaka

DetikNews. “Apa Itu Abolisi yang Diberi ke Tom Lembong dan Amnesti untuk Hasto?” Detik, 3 Agustus 2025. https://news.detik.com/berita/d-8039569/apa-itu-abolisi-yang-diberi-ke-tom-lembong-dan-amnesti-untuk-hasto.

Hukumonline.com. “Akademisi Ini Anggap Abolisi dan Amnesti Tidak Tepat untuk Perkara Korupsi.” Hukumonline, 3 Agustus 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/akademisi-ini-anggap-abolisi-dan-amnesti-tidak-tepat-untuk-perkara-korupsi-lt688c7497488c4/.

Tempo.co. “Apa Alasan Prabowo Beri Amnesti-Abolisi ke Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong?” Tempo, 3 Juli 2025. https://www.tempo.co/politik/apa-alasan-prabowo-beri-amnesti-abolisi-ke-hasto-kristiyanto-dan-tom-lembong-2053890#goog_rewarded.

Hukumonline. “ICW Nilai Amnesti dan Abolisi untuk Perkara Tipikor Jadi Preseden Buruk.” Hukumonline, 1 Agustus 2025. Diakses 2 Agustus 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/icw-nilai-amnesti-dan-abolisi-untuk-perkara-tipikor-jadi-preseden-buruk-lt688c9443a33a8/.

“Lolos Obstruction of Justice, Tapi Terbukti Suap, Hasto Divonis 3,5 Tahun Bui.” Hukumonline, 1 Agustus 2025. Diakses 2 Agustus 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/lolos-obstruction-of-justice-tapi-terbukti-suap–hasto-divonis-3-5-tahun-bui-lt68838abad0217/.

“Soal Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Pakar: Bisa Jadi Alat Negosiasi Politik atau Respons Tuduhan Kriminalisasi.” Hukumonline, 2 Agustus 2025. Diakses 2 Agustus 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/soal-amnesti-hasto-dan-abolisi-tom-lembong–pakar–bisa-jadi-alat-negosiasi-politik-atau-respons-tuduhan-kriminalisasi-lt688c47d7ee1dc.

Rohman, Zaenur. “Peneliti PUKAT UGM Respons Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong: Ini Politik Kekuasaan Elektoral.” Kompas TV, 1 Agustus 2025. Diakses 2 Agustus 2025. https://www.kompas.tv/nasional/608866/peneliti-pukat-ugm-respons-amnesti-hasto-dan-abolisi-tom-lembong-ini-politik-kekuasaan-elektoral.

“Soal Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto, Pakar Politik: Menambah Kepercayaan Publik untuk Prabowo.” Fajar.co.id, 1 Agustus 2025. Diakses 2 Agustus 2025. https://fajar.co.id/2025/08/01/soal-abolisi-tom-lembong-dan-amnesti-hasto-pakar-politik-menambah-kepercayaan-publik-untuk-prabowo.

“Pakar HTN Kritik Amnesti dan Abolisi untuk Hasto dan Tom Lembong: Bisa Ada Preseden Buruk untuk Pemberantasan Korupsi.” Fajar.co.id, 2 Agustus 2025. Diakses 2 Agustus 2025. https://fajar.co.id/2025/08/02/pakar-htn-kritik-amnesti-dan-abolisi-untuk-hasto-dan-tom-lembong-bisa-ada-preseden-buruk-untuk-pemberantasan-korupsi.

Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Falaakh, M. Fajrul. “Prerogatif Presiden dalam Perspektif Hukum Tata Negara.” Jurnal Konstitusi 6, no. 2 (2009): 41–56.

Ghibrani, Arie. Tinjauan Yuridis Hak Prerogatif Presiden dalam Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, 2022.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 14.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Penulis

Aditya Ardana Saputra – LP2KI XVIII

Andi Muhammad Fathir Aditya – LP2KI XVIII


Share the Post:

Related Posts